Kuliah Hukum Syariah

Monday, June 19, 2017

KAPITA SELEKTA HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA

TATA URUTAN PEMERIKSAAN PERKARA DI PERSIDANGAN MELALUI PENDEKATAN YURIDIS AKADEMIS1

Pendahuluan
Pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan pada hakikatnya, secara akademik, merupakan penelitian ilmiah, yakni penelitian untuk memperoleh data obyektif dan konkrit (riil) mengenai perkara itu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kemudian dianalisa dan disimpulkan. Oleh karena itu, ia tunduk pada hukum dan metode penelitian ilmiah yang memiliki ciri-ciri: logis, sistematis, dan metodis. 
Logis, artinya berdasarkan fakta dan logika (hukum berfikir) yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 
Sistematis, artinya merupakan satu kesatuan yang saling terkait, runtut, berkesinambungan dan bersinergi. 
Metodisartinya menggunakan metode ilmiah yang dapat diuji dan dikaji ulang. 
Selain itu, proses dan hasil penelitian ini kemudian harus dilaporkan secara tertulis dengan sistematika yang ilmiah pula.

Pada sisi lain, pemeriksaan perkara secara yuridis merupakan sebuah proses litigasi (peradilan) yang harus dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum acara. Oleh sebab itu, ia tunduk pada hukum acara dan tatacara pemeriksaan perkara yang memiliki ciri-ciri: yuridis, humanis, dan pragmatis.
Yuridis, artinya dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku dengan menjunjung tinggi prosedur yang resmi dan otentik, persamaan di depan hukum, adil, independen, transparan, dan akuntabel. 
Humanis, artinya menjunjung tinggi dan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan seutuhnya dengan menempatkan pencari keadilan sebagai subyek yang sedang mencari keadilan, menghargai hak asasi pencari keadialan, dan dijalankan secara manusiawi.
Pencari keadilan adalah subyek yang sedang mencari keadilan, mereka bukanlah obyek yang harus diperiksa dan diadili. Oleh karena itu, pengadilan harus memperlakukan pencari keadilan sebagai subyek yang memiliki karsa2, rasa3 dan rasio4 yang harus dihormati. 
Pragmatis, artinya dengan proses yang mudah dipahami, mudah dilaksanakan, dan memberi manfaat nyata yang lebih besar bagi pihak-pihak yang berperkara khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Selain itu, proses dan hasil pemeriksaan perkara ini harus dilaporkan secara resmi dalam bentuk berita acara dan surat-surat lainnya yang otentik dan dilaporkan secara tertulis dalam bentuk surat putusan yang memenuhi syarat legalitas, idealitas, dan etika dan estitika.

Bagaimana tatacara pemeriksaan perkara di persidangan melalui pendekatan yuridis akademis? Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan muatan metode ilmiah ke dalam proses pemeriksaan perkara dengan mengikuti ketentuan hukum acara yang berlaku. Hukum acara merupakan rel yang mengatur arah dan jalannya pemeriksaan, sedang pendekatan akademis merupakan muatan metode dan seni dalam menjalankan roda pemeriksaan.

Uraian berikut ini belum menjawab semua persoalan dalam pemeriksaan perkara yang amat kompleks melainkan sekedar memberikan latihan dasar (basic traning) dalam mendalami praktik peradilan.5

Asas Personalitas Keislaman dan Prinsip Syariah
Berbicara tentang pemeriksaan perkara di pengadilan agama tidak terlepas dari asas personalitas keislaman dan prinsip syariah. Ditinjau dari aspek kedudukannya, pengadilan agama merupakan pengadilan negara pelaku kekuasaan kehakiman. Ditinjau dari aspek kelembagaannya, pengadilan agama merupakan lembaga negara dengan desain khusus yang memenuhi standar lembaga peradilan syariah Islam berdasarkan prinsip syariah. Ditinjau dari aspek peran dan fungsinya, pengadilan agama merupakan peradilan negara dengan tugas pokok memberi pelayanan hukum dan keadilan berdasarkan hukum syariah Islam kepada masyarakat Islam berdasarkan asas personalitas keislaman.
Asas personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan hukum Islam kepada setiap person yang beragama Islam. Asas ini dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan, Kewenangan dan Hukum Acara Pengadilan Agama, namun sayangnya Yahya Harahap tidak menjelaskan lebih lanjut tentang asas ini.6 Menurut penulis, selengkapnya asas ini mengajarkan bahwa:
1. Terhadap setiap muslim, badan hukum Islam, dan badan hukum yang dimiliki oleh orang Islam berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam.
2. Terhadap non muslim tidak berlaku dan tidak tunduk pada hukum syariah Islam, kecuali jika terjadi penundukan diri pada hukum syariah Islam baik atas kehendak subyek hukum, hukum maupun atas kehendak undang-undang.
3. Penundukan diri atas kehendak subyek hukum dapat terjadi dalam bidang hukum muamalah, ekonomi syariah, dan jinayah. Dalam bidang muamalah dan ekonomi syariah, subyek hukum non muslim dapat menundukkan diri pada hukum syariah Islam ketika membuat perjanjian dengan orang Islam dan/atau badan hukum syariah Islam berdasarkan prinsip syariah. Dalam bidang jinayah, orang non muslim yang melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam 2 (dua) peraturan hukum, yaitu qanun jinayah dan hukum pidana, maka ia dapat memilih untuk diadili menurut hukum jinayah atau hukum pidana.
4. Penundukan diri atas kehendak hukum terjadi dalam perkara waris yang pewarisnya beragama Islam. Dalam perkara waris yang pewarisnya beragama Islam, maka mutlak berlaku hukum waris Islam. Ahli waris yang non muslim harus tunduk pada hukum waris Islam karena perkara waris tersebut tunduk hukum syariah Islam. Ia tidak berhak menolak pemberlakuan hukum waris
Islam atas perkara waris tersebut dan juga tidak boleh mencari alternative dengan memilih hukum waris lain untuk penyelesaian perkara waris yang pewarisnya beragama Islam.
5. Penundukan diri atas kehendak undang-undang terjadi dalam hukum jinayah, yakni bagi non muslim yang melakukan tindak pidana jinayah yang tidak diatur dalam undang-undang hukumn pidana, maka undang-undang mengharuskan pelakunya diadili menurut qanun jinayah.
6. Dalam bidang hukum ibadah dan akad nikah tidak dikenal adanya penundukan diri pada hukum syariah Islam karena hal ini hanya sah jika dilakukan oleh orang Islam.
Terhadap subyek hukum Islam dan juga subyek hukum non Islam yang menundukkan diri pada hukum syariah Islam sebagaimana tersebut di atas berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam. Asas ini menjadi dasar pemberlakuan hukum Islam terhadap orang Islam, badan hukum Islam, dan badan hukum yang dimiliki orang Islam. Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Hakim dan pembentuk hukum (peraturan perundang-undangan) terikat dengan asas ini.

Beragama Islam
Seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian; sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya (Pasal 172 KHI). Orang Islam dan badan hukum Islam merupakan subyek hukum Islam (mukallaf) yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam, sesuai asas personalitas keislaman.

Prinsip Syariah merupakan Dasar Kompetensi Pengadilan Agama
Tujuan dibentuk dan diselenggrakan peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan syariah Islam yang diatur dengan undang-undang. Pasal 58 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Jika Pasal ini diperjelas dan dipertegas berdasarkan prinsip syariah, maka Pasal ini memberi pengertian bahwa pengadilan agama mengadili perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam, diadili berdasarkan hukum syariah Islam, dengan tidak membeda-bedakan orang yang berperkara.
Kompetensi peradilan syariah Islam itu diperoleh dari dari syariah Islam itu sendiri. Prinsip syariah inilah yang menjadi dasar penentuan kompetensi peradilan syariah Islam di manapun.
Di Indonesia, peradilan syariah Islam ini dilakukan oleh pengadilan agama. Oleh karena itu, prinsip syariah inilah yang menjadi dasar pengaturan kompetensi pengadilan agama melalui Pasal 49 UU Peradilan Agama. Prinsip syariah ini mengajarkan bahwa:
1. Setiap muslim dan badan hukum dalam Islam wajib menjalankan syariah Islam secara utuh (kaaffah).
2. Terhadap setiap sengketa dan/atau pelanggaran yang terhadapnya berlaku hukum syariah Islam harus diselesaikan menurut hukum syariah Islam.
3. Setiap muslim wajib bertahkim kepada dan tunduk pada putusan lembaga syariah, yakni mediator dan/atau pengadilan syariah Islam.
4. Setiap perkara yang terhadapnya tunduk pada hukum syariah Islam menjadi kompetensi absolut peradilan syariah Islam.
5. Dalam menyelesaikan perkara syariah Islam tidak dikenal adanya pilihan hukum dan pengadilan selain hukum dan pengadilan syariah Islam, berdasarkan ketentuan Alquran Surat Al-Nisa’ ayat 56).7

Kompetensi Peradilam Agama Menurut Syariah Islam
Penulis berpendapat bahwa sejalan dengan tujuan dibentuk dan diselenggrakannya peradilan agama, maka kompetensi Peradilan Agama didasarkan atas 7 (tujuh) prinsip dasar secara kumulatif, yaitu:
1. Kompetensi Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam diperoleh dari syariah Islam itu sendiri;
2. Kompetensi peradilan syariah Islam adalah seluas syariah Islam;
3. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan agar setiap pemeluk agama percaya dan bertaqwa kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran agamanya (include hukum-hukumnya) masing-masing sebagaimana mestinya;
4. Asas personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan hukum syariah Islam terhadap setiap muslim dan badan hukum dalam Islam;
5. Prinsip-prinsip dasar kekuasaan mengadili merupakan prinsip dasar kekuasaan absolut Peradilan Agama;
6. Prinsip-prinsip peradilan syariah Islam merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan Peradilan Agama;
7. Prinsip dasar kekuasaan absolut peradilan syariah Islam merupakan prinsip dasar kekuasaan Peradilan Agama.
Berdasarkan tujuh prinsip dasar tersebut, maka seharusnya kompetensi Peradilan Agama adalah seluas syariah Islam, yaitu bahwa Peradilan Agama sebagai peradilaan syariah Islam pada prinsipnya berkuasa menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara syariah Islam berdasarkan hukum syariah Islam tanpa membeda-bedakan orang yang berperkara.8

Prinsip-prinsip Dasar Kekuasaan Mengadili
Pengaturan kekuasan mengadili masing-masing pengadilan didasarkan atas 6 (enam) prinsip dasar kekuasaan mengadili bagi setiap pengadilan. Prinsip dasar adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berfikir, bertindak, dan sebagainya. Enam prinsip dasar dimaksud adalah bahwa:
1. Kompetensi absolut setiap pengadilan didasarkan atas tujuan dibentuk dan diselenggarakan pengadilan.
2. Kompetensi absolut pengadilan didasarkan atas persesuaian antara spesifikasi pengadilan dengan spesialisasi perkaranya.
3. Kompetensi absolut pengadilan bersifat monopoli.
4. Kompetensi absolut pengadilan atas suatu perkara bersifat utuh (holistic/kaaffah) meliputi seluruh bagian dari sistem hukum setiap jenis perkara.
5. Kompetensi absolut setiap pengadilan diatur dalam undang-undang.
6. Dalam hal terjadi kekosongan undang-undang yang mengaturnya maka penetapan kompetensi absolut atas suatu perkara dikembalikan kepada prinsip dasar semula, yakni tujuan dibentuk dan diselenggarakannya suatu pengadilan.

Pedoman Dasar Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama
Berdasarkan asas personalitas keislaman dan prinsip syariah, pengadilan agama sebagai peradilan yang bertugas memberi pelayanan hukum dan keadilan berdasarkan syariah Islam berkuasa mengadili perkara-perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam. Perkara-perkara dimaksud, antara lain, meliputi:

1. Bidang perkawinan.
Apabila perkwinannya dicatatkan pada PPN/KUA Kecamatan, berarti perkwinannya dilakukan menurut hukum agama Islam. Oleh sebab itu segala sengketa dan keperluan hukum lainnya dalam hukum keluarga tunduk pada hukum syariah Islam dan hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Termasuk di dalamnya mengenai hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, asal-usul anak, pengangkatan anak, pemeliharaan anak, peminangan, dan lain sebagainya. (Pasal 63 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974).

2. Bidang waris.
Apabila pewaris beragama Islam, maka perkara yang berkaitan hukum pribadi pewaris dan harta peninggalannya harus diselesaikan menurut hukum Islam. Dan hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama.
Pasal 1 huruf b. KHI menyatakan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan “beragama Islam”, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Permohonan legalisasi akta keahliwarisan diajukan ke pengadilan agama, untuk kepentingan pengambilan tabungan dan lain-lain simpanan pada Bank, milik nasabah yang telah meninggal dunia, merupakan pelayanan admistratif pengadilan yang diproses secara administratif dalam bentuk berita acara dimana ketua Pengadilan agama bertindak sebagai pejabat umum semata.9
Perkara P3HP, yakni permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa diajukan ke pengadilan agama. Pasal 107 ayat (2) UU Peradilan Agama yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen Indonesia yang dipebarui (RIB),
Staadblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan agama. Berdasarkan ketentuan Pasal ini, maka permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa menjadi kompetensi pengadilan agama.

3. Bidang wasiat dan hibah.
Apabila pewasiat dan pemberi hibah adalah orang Islam, maka tunduk pada hukum Islam. Hal ini karena berdasarkan asas personalitas keislaman, subyek hukum wasiat dan hibah dalan hukum Islam hanyalah orang Islam. Oleh sebab itu berdasarkan prinsip syariah, hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama.

4. Bidang wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah.
Wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah wakaf hanya ada dalam hukum Islam sehingga hanya dilakukan oleh orang Islam. Oleh sebab itu, segala sengketa mengenai hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama.

5. Bidang ekonomi syariah.
Ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang serorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah (Pasal 1 angka 1 KHES).
Berdasarkan asas personalitas keislaman, subyek hukum ekonomi syariah adalah orang Islam dan orang yang menundukkan diri pada hukum Islam.
Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban (Pasal 1 angka 2 KHES).
Oleh sebab itu berdasarkan prinsip syariah, hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Jangkauan kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah meliputi seluruh aktifitas ekonomi orang Islam dan badan hukum Islam selaku subyek hukum ekonomi syariah. Aktifitas ekonomi syariah dimaksud antara lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 10 September 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan sebuah terobosan kebutuhan hukum dan perundang-undangan di era reformasi.

6. Bidang jinayah.
Pasal 125 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan bahwa Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. Kemudian ayat (2)-nya menyatakan bahwa syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Menurut ayat (3), ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 126 mengatur tentang penerapan asas personlitas keislaman di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ayat (1) Pasal ini menyatakan bahwa setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. Hal ini berarti bahwa secara yuridis, hukum Islam berlaku secara imperatif bagi setiap orang Islam yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 128 ayat (3) dan (4) menetapakan sebagai berikut: (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syahsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal alsyahsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.

7. Perkara Syariah Lainnya.
Perkara syariah yang belum diatur kompetensinya menjadi kompetensi pengadilan mana? Dalam hal demikian maka harus dikembalikan kepada prinsip dasar semula, yaitu bahwa semua perkara yang berdasarkan asas personalitas keislaman berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam sehingga berdasarkan prinsip peradilan syariah Islam tunduk kepada kompetensi pengadilan agama.

Memeriksa Administrasi Berkas Perkara
Langkah pertama pemeriksaan perkara adalah memeriksa administrasi berkas perkara karena dari sinilah informasi awal dapat diperoleh sebelum melangkah lebih lanjut dalam perjalanan pemeriksaan perkara di persidangan.
Administrasi berkas perkara merupakan ujud nyata adanya perkara yang dapat dibaca, dikaji dan dijadikan acuan dalam menyelesaikan dan mempelajari suatu perkara. Dalam dunia hukum modern, tiada perkara tanpa administrasi berkas perkara. Langkah awal ini akan menentukan arah dan lancarnya pemeriksaan perkara. Pemeriksaan administrasi berkas perkara ini meliputi:
1. Surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar dengan mendapatkan nomor perkara di kepaniteraan. Surat gugatan/permohonan inilah yang akan menjadi acuan dalam proses penyelesaian perkara.
2. SKUM, panjar biaya perkara, dan tanda telah terdaftar. Pemeriksaan tidak dapat dimulai apabila perkara belum didaftar (Pasal 55 UU No. 7 Tahun 1989). Pastikan bahwa perkara telah terdaftar secara resmi di kepaniteraan pengadilan.
3. Penetapan Majelis Hakim (PMH), Penunjukan Panitera Pengganti dan Jurusita/Juru Sita Pengganti. Pastikan bahwa anda adalah majelis hakim yang diberi kewenangan (tauliyah) dari ketua pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini. Demikian pula bagi panitera pengganti dan jurusita pengganti, pastikan bahwa anda adalah panitera pengganti yang ditunjuk
oleh panitera pengadilan untuk membantu majelis hakimnya. Majelis hakim, panitera pengganti dan jurusita/jurusita pengganti merupakan sebuah tim kerja (tim work) yang harus saling mendukung untuk bersama-sama secara proporsional menyelesaikan perkara di bawah pimpinan ketua majelis.
4. Apa ada permohonan prodeo. Permohonan beracara secara prodeo wajib dilayani dengan sebaik-baiknya. Dalam acara perdata selalu dipegang teguh adagium “tiada biaya tiada perkara”. Namun demikian, ketiadaan biaya bagi masyarakat miskin tidak boleh menjadi penghalang untuk mendapat pelayanan hukum dan keadilan. Setiap orang berhak mendapat pelayanan hukum dan keadilan yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu, mereka boleh berperkara secara cuma-cuma (prodeo).
5. Apa ada permohonan sita. Apabila ada permohonan sita, maka harus diperiksa lebih dahulu dalam pemeriksaan insidentil. Hakim pemeriksa perkara, dalam PHS-nya, memiliki beberapa pilihan, yaitu:
1) menetapkan hari sidang dengan menangguhkan sita,
2) menetapkan hari sidang dan memerintahkan sita, atau
3) memerintahkan sita dengan menangguhkan hari sidang.
6. PHS dan relaas panggilan. Pemeriksaan belum dapat dimulai apabila para pihak belum dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UU No.7 Tahun 1989). Pemanggilan dilakukan berdasarkan perintah ketua majelis yang tertera di dalam PHS.
7. Apabila ada pihak yang diwakili oleh kuasa hukum, maka kuasa hukum tersebut harus memiliki surat kuasa khusus yang sah, sudah terdaftar dan memenuhi syarat. Tidak setiap orang boleh beracara di muka hakim, kecuali jika ia memiliki legal standing yang sah. Legal standing para pihak dalam perkara harus jelas dan memenuhi syarat.
8. Kartu advokat harus yang masih berlaku untuk memastikan bahwa yang bersangkutan masih memenuhi syarat sebagai advokat dan masih mendapat izin praktik beracara.
9. Lakukan minutasi sejak dini secara kronologis. Minutasi merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas hakim pemeriksa perkara dengan dibantu oleh panitera pengganti. Minutasi sejak dini akan meringankan pekerjaan, membuat tertib pekerjaan dan merupakan alat kontrol secara dini kinerja majelis hakim dan panitera penggantinya.

Posita Sebagai Latar Belakang Masalah
Posita memuat fakta-fakta, baik yang berupa perbuatan maupun peristiwa yang menjadi dasar gugatan. Posita memuat obyek fakta (dalil gugat) yang harus dibuktikan kebenarannya menurut hukum pembuktian. Posita yang terbukti dan mempunyai akibat hukum menjadi fakta hukum. Setiap petitum harus didukung dengan posita. Posita merupakan sebab (alasan) sedang petitum merupakan akibat (tuntutan). Posita merupakan latar belakang masalah yang di dalamnya tergambar adanya berbagai kesenjangan antara das sein dengan das sollen, antara realita dan idealita, dan antara fakta yang terjadi dengan hukum yang seharusnya terjadi. Pendeknya antara kenyataan di lapangan dengan apa yang seharusnya menurut hukum.

Memeriksa Petitum Sebagai Rumusan Masalah
Secara litigasi, petitum merupakan rumusan permintaan (tuntutan) yang disimpulkan oleh pemohon/penggugat sebagai solusi mengatasi atau mengakhiri berbagai kesenjangan yang terjadi. Pemeriksaan perkara merupakan penelitian ilmiah di lapangan untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya agar dapat menjawab rumusan masalah untuk dikabulkan atau ditolak dengan amar putusan.
Pemeriksaan perkara harus mengacu pada petitum secara berurutan dan berkesinambungan. Hakim menggali fakta yang oleh penggugat dijadikan alasan diajukannya petitum sehingga dapat diketahui alasan setiap petitum satu persatu. Hakim harus mendapatkan alasan yang berupa fakta hukum untuk menjawab petitum satu persatu.
Jawaban akhir atas rumusan masalah dituangkan dalam amar putusan. Amar putusan harus menjawab semua petitum satu persatu. Setiap petitum harus didukung dengan posita. Jika posita terbukti dan memiliki dasar hukum, maka petitumnya dikabulkan. Jika posita tidak terbukti, maka petitum ditolak. Jika petitum tanpa didukung dengan posita, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak.

Menerapkan Penalaran Logis Yuridis
Dalam tataran pemikiran akademis yuiridis, maka pemeriksaan perkara merupakan sebuah penelitian akademis yuridis yang langkah-langkahnya dapat diuraikan secara kronologis sebagai berikut:
1. Posita yang dikemukakan oleh pemohon/penggugat merupakan latar belakang masalah yang padat dengan kesenjangan dan memerlukan penyelesaian di pengadilan.
2. Petitum yang dikemukakan penggugat dalam surat gugatan merupakan solusi yang diminta oleh penggugat untuk mengatasi kesenjangan. Petitum penggugat dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1) petitum yang mohon kepastian hukum; dan
2) petitum yang mohon keadilan. Petitum yang memohon kepastian hukum dijawab dengan aturan hukum wadl’i, sedang petitum yang memohon keadilan dijawab dengan aturan hukum taklifi.
Setiap petitum harus ada alasan yang berupa fakta hukum dan selanjutnya dicari dasar hukumnya dalam pertimbangan hukum untuk kemudian dirumuskan hasilnya dalam amar putusan.
3. Hakim sebagai peneliti, bertugas mengkonstatir secara ilmiah dan resmi kebenaran fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. Yakni, apakah faktafakta yang dikemukakan tersebut benar-benar telah terjadi berdasarkan penalaran yang logis dan memenuhi standar pembuktian menurut hukum.
Kebenaran faka-fakta tersebut, pembuktiannya secara materiil diukur dengan penalaran yang logis, sedang pembuktiannya secara formil diukur menurut hukum pembuktian sebagai logika hukum. Fakta yang meskipun menurut logika dianggap benar telah terjadi, namun jika alat-alat buktinya tidak memenuhi syarat menurut hukum pembuktian, maka dianggap belum terbukti.
Fakta yang dapat dianggap telah terbukti hanyalah fakta yang cara pembuktiannya memenuhi syarat hukum pembuktian.
4. Hakim selaku judex factie, mengklasifikasikan faka-fakta tersebut menjadi dua, yaitu: mana-mana yang terbukti menurut hukum pembuktian dan manamana yang tidak terbukti. Fakta-fakta yang terbukti diklasifikasikan lagi menjadi dua, yaitu: mana-mana yang relevan dengan pokok perkara dan mana-mana yang tidak ada relevansinya dengan pokok perkara.
5. Hakim menggali dan menemukan tatanan hukum yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut sebagai sebuah das sollen.
5.1. Hakim melihat kepada hukum tertulis, yakni peraturan perundangundangan, sebagai sumber hukum utama (primer). Hukum tertulis merupakan hukum positif yang berlaku. Termasuk hukum tertulis ini adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berperkara, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, norma kesusilaan, dan agama.
5.2. Hakim juga melihat kepada hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum sekunder. Hukum tidak tertulis ini dapat berupa kompilasi hukum, kitab-kitab hukum, kitab-kitab fikih, tafsir dan hadits yang membahas tentang hukum, dan doktrin-doktrin dari para ahli.
5.3. Hakim juga melihat pula adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat dimana kasus itu terjadi atau obyek sengketa itu berada dan mengikat bagi para pihak dalam perkara.
6. Hukum yang ditemukan tersebut diklasifikasikan menurut daya kerjanya (daya pakasanya) menjadi dua jenis, yaitu mana-mana yang termasuk hukum memaksa (dwangen recht) dan mana-mana yang termasuk hukum yang hanya mengatur saja tetapi tidak memaksa (aanvullend recht). Dalam hukum Islam, semua hukum wadl’i termasuk hukum memaksa, sedang semua hukum taklifi termasuk hukum yang hanya mengatur saja tetapi tidak memaksa.
7. Hukum yang mengatur tentang persoon recht mengikat dan berlaku terhadap subyek hukum kemanapun ia pergi. Hukum yang mengatur tentang benda tidak bergerak (zaken recht) mengikat dan berlaku terhadap benda di tempat benda tetap itu berada.
8. Hakim mencocokkan hukum yang ditemukan dengan kasus yang dihadapi.
9. Apabila dari sumber hukum yang ada tidak ditemukan hukum yang cocok untuk kasus yang dihadapi, maka hakim melakukan interpretasi (penafsiran) hukum. Apabila hal ini juga tidak memungkinkan, maka hakim menciptakan sendiri hukumnya melalui asas-asas hukum dan filsafat hukum.

Merumuskan Jenis dan Pokok Perkara
Merumuskan jenis perkara guna menentukan kewenangan absolut pengadilan agama. Rumusan jenis perkara ini mengacu pada Pasal 49 UU-PA, yaitu perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Rumusan jenis perkara ini nanti ditempatkan pada kalimat awal surat putusan setelah nama pengadilan agama pemeriksa perkara.
Merumuskan pokok perkara, guna menetapkan ruang lingkup hukum hukum yang berlaku atas perkara tersebut sebagai sebuah sistem untuk menyelesaikan perkara tersebut. Rumusan pokok perkara ini dituliskan pada bagian awal pertimbangan hukum.

Sebagai contoh, misalnya:
Contoh rumusan jenis perkara:
PENGADILAN AGAMA SEMARANG
memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan atas perkara ‘ekonomi syariah’ antara:

Rumusan pokok perkaranya:
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa pokok perkara antara Penggugat dan Tergugat adalah sengketa bisnis syariah, yaitu transaksi bai’ antara orang-orang yang beragama Islam sehingga terhadap perkara ini berlaku dan tunduk pada hukum ekonomi syariah Islam.

Contoh lain, misalnya:
Contoh rumusan jenis perkara:
PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN
memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan atas perkara ‘waris’ antara:

Rumusan pokok perkaranya:
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa pokok perkara antara Penggugat dan Tergugat adalah sengketa pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu almarhum ...... yang beragama Islam sehingga terhadap perkara ini berlaku dan tunduk pada hukum waris Islam.

Sidang Pengadilan
Sidang pengadilan merupakan ujud praktik penelitian lapangan secara litigasi untuk menggali fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis yuridis sebagai bahan untuk menjawab petitum.
Dari aspek hukum, tatacara sidang tunduk pada hukum acara, dari aspek ilmiyah tunduk metode penelitian. Dari aspek sosiologis, harus memahami psikologi sosial masyarakat setempat.

Membuka Sidang
Sidang merupakan tindakan yuridis yang tunduk pada hukum acara dan protokoler kelembagaan yudikatif. Sidang harus dinyatakan terbuka untuk umum sebagai bentuk keterbukaan dan obyektifitas, kecuali UU menentukan lain atau atas kebijaksanaan (pertimbangan) hakim yang dimuat dalam berita acara sidang, misalnya demi menjaga nama baik para pihak, atau menjaga psikologi anak-anak dan lain sebagainya, sehingga demi kelancaran pemeriksaan maka sidang dilakukan secara tertutup. Sidang dapat dimulai apabila perkara sudah terdaftar dan para pihak sudah dipanggil menurut peraturan perundangundangan yang berlaku..

Menunda Sidang
Pada asasnya penundaan sidang itu dilarang, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh UU. Penundaan sidang harus ada alasan sesuai hukum acara.
Penundaan sidang harus memperhatikan keadaan para pihak dan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penundaan sidang harus diberitahukan kepada para pihak. Penundaan sidang harus tercatat dalam Berita acara Sidang (BAS).

Memeriksa Identitas Para Pihak
Dalam pemeriksaan perkara perdata selalu diawali dengan memeriksa identitas para pihak yang berperkara. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk:
1) mengetahui apakah pihak-pihak yang disebutkan dalam surat gugatan adalah benar dia orangnya, bukan orang lain;
2) mengetahui apakah pihak tersebut cakap melakukan perbuatan hukum;
3) mengetahui apakah pihak tersebut mempunyai kepentingan hukum dengan perkara karena hal ini berkaitan dengan legal standing pihak-pihak dalam perkara; dan
4) memperoleh data selengkapnya tentang diri para pihak sehingga hakim memiliki data lengkap
tentang orang yang bersangkutan, baik berkaitan dengan jati dirinya, strata sosialnya, maupun penghasilannya yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambik keputusan.
Identitas para pihak ini selengkapnya, antara lain, meliputi:
1. Nama lengkap, yakni untuk memastikan bahwa subyek yang dimaksudkan dalam perkara adalah dia, bukan orang lain. Selain itu, perlu diketahui pula nama panggilan yang disukai olehnya untuk membangun komunikasi demi kelancaran pemeriksaan. Nama adalah nyanyian yang paling merdu bagi pemiliknya. Panggillah mereka dengan namanya yang paling indah.
2. Jenis kelamin, yakni laki-laki atau perempuan. Hal ini disamping untuk melengkapi identitas jati diri seseorang juga kadang diperlukan manakala hukum memberi aturan khusus bagi masing-masing jenis kelamin. Seperti dalam hukum waris, hak dan kewajiban suami istri, dan lain sebagainya.
Selain itu, hal ini sangat berguna bagi hakim dalam menentukan cara berkomunikasi. Berkomunikasi dengan orang perempuan tentu berbeda dengan cara berkomunikasi dengan orang laki-laki. Dalam bahasa pergaulan, masing-masing punya gaya dan cara tersendiri.
3. Umur dan/atau tanggal lahir. Hal ini berkaitan dengan kedewasaan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Data tanggal lahir bersifat permanen, sedang data umur selalu bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Selain itu, hal ini sangat berguna bagi hakim dalam menentukan cara berkomunikasi. Berkomunikasi dengan anak anak kecil tentu berbeda dengan cara berkomunikasi dengan anak muda dan orang dewasa.
4. Agama. Hal ini berkaitan dengan:
1) asas personalitas keislaman dalam rangka pemberlakuan hukum Islam, baik terhadap muslim maupun non muslim yang menundukkan diri pada hukum Islam; dan
2) hak eksepsi non muslim terhadap obyek perkara yang berada di luar ruang lingkup Pasal 49 UU-Pengadilan Agama tetapi terbawa masuk ke dalam perkara pokok yang termasuk dalam ruang lingkup Pasal 49 UU-Pengadilan Agama yang di dalam UU dikatagorikan dengan istilah ‘sengketa kepemilikan dan keperdataan lain’ di luar ruang lingkup Pasal 49 UU-Pengadilan Agama.
5. Pendidikan. Hal berkaitan dengan pemetaan data tentang pendidikan dan pengaruhnya terhadap kelestarian perkawinan, ketaatannya pada hukum, dan lain sebagainya.
6. Pekerjaan. Hal ini disamping berkaitan dengan kelengkapan identitas diri para pihak juga berkaitan dengan pertimbangan dalam menetapkan kewajiban suami dalam memberi nafkah dan mut’ah bagi bekas istrinya.
7. Tempat tinggal. Hal ini berkaitan dengan kompetensi pengadilan, pemanggilan pihak, hukum yang hidup dalam masyarakat setempat, dan lain sebagainya.

Melaksanakan Upaya Damai dan Proses Mediasi
Pada sidang pertama dimana para pihak hadir, hakim wajib berusaha mendamaikan. Apabila tidak berhasil, hakim memerintahkan para pihak untuk menempuh proses mediasi, sesuai PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, maka perkara dicabut atau dibuat akta perdamaian.
Jika upaya damai lewat mediasi gagal atau tidak layak mediasi, maka pemeriksaan secara litigasi dilanjutkan.

Memeriksa Syarat Formil Perkara
Syarat formil perkara merupakan syarat untuk menentukan apakah suatu perkara dapat diperiksa dan diadili dalam persidangan litigasi. Syarat formil ini ada yang melekat pada perkara (baik pada surat gugatan/ permohonan maupun pada substansi perkara), pada para pihak yang berperkara, dan pada pengadilan yang menangani perkara. Jika suatu perkara tidak memenuhi syarat formil, maka perkara tidak dapat diperiksa dan dan diadili dan oleh karenanya harus dinyatakan ‘tidak dapat diterima’.
1. Apakah PA berwenang mengadili perkara ini?
Yang menjadi kompetensi PA adalah perkara’ yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU PA. Pada prinsipnya, pengadilan agama sebagai peradilan syariah Islam berkuasa mengadili setiap perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam.
Penggugat maupun tergugat sebagai pihak yang mempunyai kepentingan hukum atas perkara yang diajukan di muka PA tidak disyaratkan harus muslim. Yang diadili oleh PA adalah perkaranya, bukan orang yang berkara.
Dalam perkara ekonomi syariah, apakah para pihak dalam akad (perjanjian) tidak ada klausula bahwa apabila terjadi sengketa akan diselesaikan lewat badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS) sebagai alternative penyelesaian sengketa yang sah di luar PA.
2. Apakah penggugat dan tergugat memenuhi syarat untuk menjadi pihak dalam perkara?
Yakni apakah para pihak adalah termasuk orang-orang yang cakap melakukan tindakan hukum dan mempunyai kepentingan hukum terhadap perkara yang diajukan.
Apakah kuasa hukum sebagai pihak formil memiliki kompetensi sebagai advokat atau kuasa insidentil dan mempunyai surat kuasa khusus untuk mewakili pihak materiil.
3. Apakah perkara ini tidak kurang pihak?
Jika dalam suatu perkara terjadi kurang pihak, maka pemeriksaan tidak mungkin dapat dilanjutkan sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima..
4. Apakah surat gugatan tidak obscuur (kabur), yakni tidak jelas siapa yang menggugat, siapa yang digugat, dan apa yang digugat, baik secara yuridis (tidak memenuhi syarat hukum sebagai pihak dlm perkara) maupun substansi (tidak jelas mengenai identitas pihak sehingga tidak menunjuk pada orang tertentu atau spesifikasi barang obyek sengketa sehingga tidak menunjuk pada obyek tertentus yang berakibat pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.
5. Apakah perkara ini tidak prematur, tidak kedaluwarsa, dan tidak nebis in idem? Hal ini berakibat perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
6. Apakah majelis hakim/panitera atau panitera penganti tidak ada yang wajib undur diri karena ada konflik kepentingan atau karena alasan lain.
7. Menyeleksi hal-hal yang bersifat eksepsional, yakni prodeo, sita, eksepsi, dan provisi.
8. Apabila ada permohonan izin berperkara secara prodeo, maka permohonan tersebut harus diperiksa dan diputus lebih dahulu.
9. Apabila ada permohonan sita, maka harus diperiksa lebih dahulu untuk menjawab permohonan sita tersebut.
10. Apabila dalam jawaban terdapat eksepsi kewenangan, maka eksepsi tersebut harus diperiksa dan diputus lebih dahulu.
11. Apabila eksepsi dikabulkan, maka diputus dengan putusan akhir.
12. Apabila eksepsi ditolak, maka diputus dengan putusan sela dan pemeriksaan dilanjutkan.
13. Apabila ada gugatan provisionil, maka harus diperiksa dan diputus lebih dahulu.
14. Gugatan provisionil dapat dikabulkan jika:
1) gugatan tersebut beralasan,
2) bukan mengenai pokok perkara,
3) berdasarkan bukti yang secara hukum tak terbantahkan lagi,
4) penggugat memiliki hak atas obyek tersebut,
5) dapat menunjang pokok perkara.
15. Jika gugatan provisionil tidak cukup syarat-syaratnya, maka harus ditolak.

Menginventarisir Dalil-Dalil Gugat
Dalil gugat terhimpun dalam posita yang merupakan bagian dari surat gugatan atau permohonan.
1. Hakim menginventarisir dalil-dalil gugat secara rinci dan kronologis guna menemukan fakta hukum yang urut dan sistematis.
2. Dalil-dalil gugat dipilah dan dipilih mana yang relevan dengan pokok perkara dan berpengaruh terhadap putusan akhir.
3. Dalil-dalil gugat yang urgen merupakan fakta yang harus dibuktikan guna mejawab petitum penggugat.
4. Hakim membuat daftar inventarisasi dalil gugat.

Menginventarisir Jawaban
Jawaban tergugat yang terhimpun dalam surat jawaban. Di dalam jawaban bisa saja dimuat eksepsi, jawaban atas konvensi, dan pengajuan rekonvensi.
1. Apabila jawaban disampaikan secara lisan, maka hakim menanyakan kebenaran dalil-dalil gugat kepada tergugat.
2. Apabila disampaikan secara tertulis, maka hakim menanyakan dalil gugat. yang belum dijawab secara tertulis.
3. Hal ini juga dilakukan pada tahap replik dan duplik.
4. Hakim dapat membuat daftar inventarisasi jawaban.

Menyeleksi Dalil-dalil Gugat dan Jawaban
Dalil gugat yang sudang diinventarisir kemudian disandingkan dengan jawaban tergugat untuk diketahui mana-mana yang diakui atau dibantah oleh tergugat dengan cara sebagai berikut:
1. Hakim dapat membuat DIM dalil gugat dan jawaban tergugat.
2. Hakim menyeleksi dalil gugat mana yang diakui dan yang dibantah oleh tergugat.
3. Dalil gugat yang diakui secara murni dinilai telah terbukti.
4. Dalil gugat yang diakui dengan klausula atau dengan syarat, harus dibuktikan klausul atau syarat tersebut.
5. Dalil gugat yang dibantah harus pula dibuktikan dalil gugat maupun bantahannya.
6. Dalil gugat yang tidak dibantah atau dibantah tetapi bantahannya tidak punya alasan yang cukup, maka dianggap telah terbukti, kecuali jika hakim berpendapat perlu dikonstatir lebih lanjut untuk mendapat kejelasan.
7. Jika masih dipandang perlu, pemeriksaan dapat dilanjutkan pada replik, rereplik dan duplik serta reduplik.
8. Jika acara jawab menjawab telah cukup namun masih ada hal-hal yang masih disengketakan maka dilanjutkan ke acara pembuktian.

Membuktikan Kebenaran Fakta
Salah satu dari ciri khas proses peradilan (litigasi) adalah membuktikan kebenaran fakta sebagai dasar untuk mempertimbangkan hukum mengenai sengketa yang terjadi.
1. Fakta yang masih disengketakan dan relevan dengan pokok perkara harus dibuktikan.
2. Fakta yang meskipun tidak disengketakan tetapi untuk menghindari putusan yang non eksekutabel, harus pula dibuktikan.
3. Fakta yang menurut undang-undang hanya dapat dibuktikan dengan akta otentik, maka harus dibuktikan dengan akta otentik. Pengakuan semata atas dalil gugat belum cukup menjadi bukti.
4. Pembuktian dilakukan sesuai hukum pembuktian.
5. Pihak yang mendalilkan suatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa yang menjadi dasar adanya hak, harus membuktikan. Artinya, penggugat yang mendalilkan adanya hak atau mendalilkan suatu peristiwa yang menjadi dasar adanya hak terhadap tergugat, apabila dibantah oleh tergugat, maka penggugat harus membuktikan.
6. Pihak yang membantah hak pihak lawan harus pula membuktikan bantahannya itu. Artinya, tergugat yang membantah hak-hak penggugat harus membuktikan bantahannya itu.
7. Beban bukti ditetapkan oleh hakim secara adil dan berimbang.
8. Dalil gugat yang terbukti dikabulkan dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan tuntutan.
9. Bantahan yang terbukti dapat dijadikan alasan untuk menolak tuntutan penggugat.
10. Apabila dalil gugat tidak dapat dibuktikan, maka gugatan (tuntutannya) harus ditolak.
11. Aapbila bantahan tidak terbukti, maka dalil gugat dianggap terbukti dan oleh karenanya tuntutan penggugat dapat dikabulkan.
12. Alat bukti elektronik yang telah lazim dipakai dalam aktifitas ekonomi dan/atau perbankan menjadi alat bukti yang sah dalam sengketa ekonomi syariah dan sengketa kebendaan lainnya, sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.

Melaksanakan Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat merupakan salah satu alat pembuktian dalam hukum acara.
1. Apabila obyek perkara berupa benda tetap, maka untuk mencocokkan antara data yuridis di berkas perkara dengan data riil di lapangan perlu dilakukan pemeriksaan setempat.
2. Hasil pemeriksaan setempat menjadi bukti kebenaran substansial obyek perkara. Apabila terjadi perbedaan data tertulis mengenai obyek perkara yang terdapat dalam surat gugatan atau surat-surat lainnya dengan data terakhir yang dieroleh melalui pemeriksaan setempat, maka yang dipakai adalah data yang terakhir karena data inilah yang sesuai dengan kenyataan di lapangan.
3. Apabila ada pihak atau saksi yang tidak memungkinkan untuk hadir di persidangan, maka dapat dilakukan pemeriksaan setempat guna mendengar keterangan pihak atau saksi dimaksud.
4. Hakim harus aktif dalam memeriksa perkara untuk memperoleh kebenaran fakta.
5. Pemeriksaan setempat dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran data agar dapat memberi putusan yang benar dan menghindari putusan yang non eksekutabel.

Fakta-fakta Yang Tidak Perlu dibuktikan
Dalam pemeriksaan perkara perdata, tidak semua fakta harus dibuktikan.
Ada 8 (delapan) fakta yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
1. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Dikecualikan dari hal ini, dalam perkara perceraian dan perkara yang berkaitan dengan legalitas suatu hubungan hukum antara dua pihak, seperti asal-usul, perkawinan, dan lain sebagainya yang harus dibuktikan dengan akta otentik. Dalam perkara perceraian, meskipun hakim menjatuhkan putusan verstek namun alasan-alasan perceraian harus dibuktikan.
2. Dalam hal tergugat mengakui dalil-dalil gugat. Pengakuan merupakan alat bukti yang mengikat dan menentukan. Hakim terikat dengan pengakuan tergugat. Dikecualikan dari hal ini dalam perkara perceraian dan perkara yang berkaitan dengan legalitas suatu hubungan hukum antara dua pihak, seperti asal-usul, perkawinan, dan lain sebagainya yang harus dibuktikan dengan akta otentik. Dalam perkara perceraian, meskipun tergugat mengakui dalil-dalil gugat namun dalil gugat yang dijadikan alasan perceraian tetap harus dibuktikan.
3. Dalam telah dilakukan sumpah decisoir. Sumpah decisoir merupakan alat bukti yang menentukan dan tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
4. Dalam hal bantahan pihak lawan kurang cukup atau dalam hal terjadi referte. Referte artinya jawaban tergugat yang berbelit-belit atau menyerahkan aja kepada keputusan hakim. Dalam terjadi demikian, maka tidak perlu pembuktian lebih lanjut, kecuali dalam perkara perceraian dan perkara yang berkaitan dengan legalitas hubungan hukum seperti perkawinan dan asal-usul anak.
5. Dalam apa yang dikenal sebagai peristiwa natoir, yaqkni peristiwa yang diketahui umum.
6. Dalam peristiwa yang terjadi di muka sidang sehingga menjadi pengetahuan hakim.
7. Dalam hal yang termasuk pengetahuan tentang pengalaman yang telah menjadi pengetahuan umum atau yang terjadi secara rutin.
8. Dalam hal-hal yang bersifat negatif (tidak ada atau tidak pernah).

Memilih dan Menentukan Sistem Hukum
Memilih dan menentukan sistem hukum ini dimaksudkan untuk mendapatkan sistem hukum yang tepat karena mengingat bahwa di Indonesia berlaku berbagai sistem hukum. Demikian pula dengan sistem hukum Islam di Indonesia.
1. Hakim harus memilih sistem hukum yang cocok bagi masyarakat muslim setempat.
2. Jika ketentuan hukum yang diatur dalam kitab hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang ada ternyata tidak sesuai dengan kasus yang dihadapi serta kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat setempat, maka hakim harus berijtihad untuk menemukan hukum yang cocok bagi kasus yang ditangani itu.
3. Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yangg hidup dalam masyarakat.
4. Hakim itu ibarat dokter, sedang peraturan perundang-undangan ibarat obat paten. Manakala dokter berpendapat bahwa berdasarkan hasil diagnose, obat paten yang ada tidak cocok diberikan kepada pasien untuk mengobati penyakitnya, maka dokter tentu membuat resep sendiri dengan meramu obat yang menurut ilmunya dinilai cocok untuk sang pasien.
5. Manakala hakim berpendapat bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata peraturan perundang-undangan yang ada tidak cocok untuk menyelesaikan perkara tersebut, maka hakim harus merumuskan hukumnya sendiri dengan metode ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan yang menurutnya dinilai cocok untuk menyelesaikan kasusnya itu.
6. Hakim wajib berijtihad (Pasal 1 ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2008 Tentang KHES dan Pasal 229 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI).
7. Dalam sengketa mengenai status hukum, maka hakim berpegang kepada norma hukum yang ada demi kepastian hukum.
8. Dalam sengketa kebendaan, maka hakim harus mempertimbangkan aspek keadilan material dengan memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
9. Cacat hukum dalam hubungan keperdataan tidak menutup kewajiban hakim untuk memberi keadilan berdasarkan asas hukum dan keseimbangan hak dan kewajiban.
10. Hakim dapat menyatakan hubungan hukum yang cacat (karena bertentangan dengan norma hukum) tidak berkekuatan hukum sehingga tidak mengikat.
11. Selanjutnya hakim wajib mengadili sesuai asas hukum yang benar dan adil.

Menemukan Hukumnya
Dengan berpedoman pada sistem hukum yang tepat, hakim akan dapat menemukan hukum yang tepat bagi kasus-kasus yang ditanganinya itu. Dalam membuat pertimbangan, harus dijelaskan tentang alasan (illat) hukum, dasar hukumnya, dan sumber hukumnya (baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis). Hakim berpedoman pada asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terkait serta hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat setempat.

Menerapkan Hukum
Hakim menerapkan hukum pada kasus yang diperiksa dan hasil akhirnya dimuat dalam amar putusan. Penerapan hukum dilakukan secara sillogisme yang diuraikan dalam pertimbangan hukum. Penerapan hukum dengan memperhatikan daya kerja (daya paksa) hukum sebagai berikut:
1. Ketentutan hukum wadl’i yang memiliki sifat memaksa (dwangen recht) diterapkan secara imperatif demi kepastian hukum. Yang dimaksud dengan hukum wadl’i adalah hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, rukun, sah dan batalnya suatu akad atau perbuatan hukum yang berorientasi pada kepastian hukum.
2. Ketentuan hukum taklifi yang memliki sifat mengatur (aanfullend recht) diterapkan secara fakultatif berdasarkan illat (alasan) hukumnya demi terwujudnya keadilan. Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antar subyek hukum (mukallaf) baik berdasarkan akad, aturan hukum, perundang-undangan dan/atau asas tanggung jawab (taklif).
3. Ketentuan hukum takhyiri yang bersifat melindungan hak privasi diterapkan secara alternatif sesuai pilihan subyek hukum.
Dalam hal-hal tertentu, undang-undang memberi hak ex officio kepada hakim untuk memutus lebih dari yang diminta demi terwujudnya keadilan. Dalam keadaan demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan hak ex officio meskipun tidak ada permintaan dari penggugat atau tergugat dalam petitumnya.
Hal ini dapat terjadi, antara lain, dalam perkara perceraian dan hadanah.
1. Pasal 41 huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI, kewajiban suami yang menceraikan istrinya, antara lain, adalah memberi nafkah idah dan mut’ah.
2. Pasal 155 huruf f KHI menyatakan bahwa pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Merumuskan Amar Putusan
Amar putusan merupakan:
1) hasil akhir dari proses persidangan;
2) kesimpulan akhir dari analisis fakta setelah dipertimbangkan hukumnya; dan
3) jawaban atas petitum. Setiap amar harus ada pertimbangan hukumnya, setiap pertimbangan hukum harus ada fakta yang dipertimbangkan.
Oleh sebab itu, amar putusan hakim harus:
1. Mengadili seluruh petitum,
2. Mengadili tidak lebih dari petitum (kecuali undang-undang menentukan lain),
3. Dapat dieksekusi, dan
4. Menetapkan biaya perkara.
5. Menggunakan kalimat yang jelas, tegas, lugas, lengkap, terukur, mudah dipahami dan dilaksanakan.
Apabila dalam petitum terdapat kekurangan yang bersifat assesoris, bukan subtansial, maka hakim dengan pertimbangannya sendiri berdasarkan Pasal 58 ayat (2) UU-PA wajib menyempurnakannya sehingga amar putusan memenuhi rasa keadilan dan eksekutabel.

Menyusun Surat Putusan
Surat putusan merupakan laporan penelitian ilmiah yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis akademis. Surat putusan yang berkualitas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat legalitas, yakni syarat yang menentukan sah atau tidaknya putusan sehingga mengikat, berkekuatan hukum dan eksekutabel. SEMA Nomor 02 Tahun 1972 tanggal 19 Mei 1972 menetapkan bahwa format surat putusan dibuat sebagaimana akta notaris. Sampai saat ini kita belum memiliki peraturan tersendiri tentang pembuatan surat putusan. Oleh sebab hal ini merupakan kebutuhan penting di lingkungan peradilan dan berlaku khusus di lingkungan peradilan, maka sudah seharusnya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung pembuatan surat putusan, penetapan, akta perdamian dan tatacara pembuatan salinannya.
2. Syarat idealitas, yakni syarat yang berkaitan dengan argumen dan kelengkapan putusan dari berbagai aspek tinjauan dari multi disiplin ilmu secara terpadu yang meliputi aspek filosofis, konstitusional, politis, yuridis, sosiologis, psikologis, releigius, dan pragmatis.
3. Syarat etika dan estetika, yakni syarat yang berkaitan dengan format surat putusan, susunan, tatabahasa dan rasa bahasa, keindahan dan kesantunan bahasa serta tata penulisannya.
4. Syarat integritas, yakni syarat yang berkaitan perilaku hakim pemeriksa perkara yang mampu menjaga diri di mata publik pada umumnya dan di mata pihak-pihak yang berperkara pada khususnya sehingga menimbulkan kesan arif, terpercaya, dan bijaksana serta tidak menimbulkan kesan memihak. Hal ini dapat dilakukan dengan menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Sidang Pengucapan Putusan
Sidang pengucapan putusan terbuka untuk umum. Surat putusan harus sudah jadi dan telah dikoreksi dengan diparaf oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti. Formulir AMP harus sudah siap untuk ditandatangai oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti. Kehadiran pihak-pihak diterangkan pada bagian akhir putusan. Kehadiran pihak berlaku sebagai PBT putusan. Pihak yang tidak hadir harus diberitahukan tentang isi putusan dengan PBT melalui JSTP atau JSTP.

Minutasi Berkas Perkara
Minutasi merupakan bagian tugas pokok dalam proses peradilan dan menjadi tanggung jawab majelis hakim pemeriksa perkara yang dipimpin oleh ketua majelis dan dibantu oleh panitera pengganti.
1. Setiap dokumen persidangan hanya sah dan mempunyai nilai otentik jika telah ditandatangai oleh pejabat yang berwenang.
2. Semua alat bukti tertulis harus diparaf oleh Ketua Majelis sebagai tanda telah diperiksa.
3. BAS harus sudah ditandatangani sebelum sidang berikutnya.
4. Semua surat berkas perkara harus sudah selesai satu minggu setelah sidang terakhir.
5. Dalam waktu dua minggu, berkas perkara harus sudah dibundel sebagai Bundel A, baik ada upaya hukum maupun tidak ada upaya hukum atas perkara tersebut.

Melaksanakan Eksekusi
Eksekusi merupakan puncak proses peradilan yang menjadi tujuan para pencari keadilan. Putusan tanpa seksekusi merupakan tindakan mubazir yang tidak perlu.
1. Putusan hakim yang baik adalah putusan yang secara yuridis dapat dieksekusi
2. Putusan yg non eksekutabel menunjukkan unprofesionalitas hakim
3. Putusan yang non eksekutabel menjadi tanggung jawab hakim, kecuali jika disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar jangkauan hakim ketika melakukan pemeriksaan
4. Dengan adanya eksekusi, maka perkara telah selesai secara tuntas.

Selamat dan sukses buat anda semua. Tegakkan hukum dan keadilan.
Wujudkan visi Peradilan Yang Agung.
Terima Kasih

Footnote
1 Bahan Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal 24 September sd 28 November 2012 Pusdiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung, Bogor. Bahan diklatb ini dipublikasikan dengan maksud agar memberi manfaat yang lebih luas dan sekaligus mendapat koreksi dari para ahli manakala terdapat kekeliriuan agar tidak menyesatkan. Terima kasih.
2 Karsa adalah keinginan sebagai manusia yang merupakan hak asasi yang harus dijamin sepanjang tidak bertentangan dengan keinginan orang lain, hukum dan keadilan, serta kehendak Tuhan (agama).
3 Rasa adalah harga diri sebagai manusia yang membutuhkan kepuasan berupa penghormatan dari orang lain sehingga perasaan mereka harus dihormati oleh orang lain, termasuk oleh pengadilan.
4 Rasio adalah pemikiran logis yang membutuhkan kepuasan kebenaran sesuai alam pikirannya.
5 Uraian ini sekedar mengenal tata urutan dalam pemeriksaan perkara secara gairs besar. Sedang
mengenai rincian pada masing=masing bagian atau tahapan lebih lanjut diperlukan kajian tersendiri.
6 Yahya Harahap, op., cit., hlm. 55. Asas ini pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1990 oleh Yahya Harahap dalam bukunya tersebut. Kemudian menjadi istilah resmi dalam Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sebagai dasar pemberlakuan hukum syariah Islam bagi penduduk Aceh yang beragama Islam dan bagi mereka yang menundukkan diri pada hukum syariah Islam baik atas kehendak subyek hukum maupun atas kehendak hukum.
7 Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
8 Muhammad al-Zuhaili. 1423 H./2002 M., al Tandzim al Qadha’i fiy Fiqhi al-Islami, Dar al-Fikri, Damaskus, hlm, 102. Prinsip dasar ini sejalan dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
9 Mahkamah Agung R.I., Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku II, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, Cetakan ke – 5 2004, hlm. 108.

Daftar Referensi
• Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000.
• A Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogykarta, 2010.
• ____________, Menari Keadilan Kritik Dan Solusi Atas Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan, Pustaka Pelajar, Yogykarta, 2010.
• ___________, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogykarta, 2012.
• Mahkamah Agung R.I., Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku II, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, Cetakan ke – 5 2004, hlm. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
• Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelakasanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta, 2011.
• Muhammad al-Zuhaili. 1423 H./2002 M., al Tandzim al Qadha’i fiy Fiqhi al-Islami, Dar al-Fikri, Damaskus.

• UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Agama, RBg/HIR & Peraturan-peraturan lain yang terkait.

Disadur dari tulisan A. Mukti Arto dalam website www.badilag.mahkamahagung.go.id