TATA URUTAN PEMERIKSAAN PERKARA DI
PERSIDANGAN MELALUI PENDEKATAN YURIDIS AKADEMIS1
Pendahuluan
Pemeriksaan
perkara di persidangan pengadilan pada hakikatnya, secara akademik, merupakan
penelitian ilmiah, yakni penelitian untuk memperoleh data obyektif dan konkrit
(riil) mengenai perkara itu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
untuk kemudian dianalisa dan disimpulkan. Oleh karena itu, ia tunduk pada hukum
dan metode penelitian ilmiah yang memiliki ciri-ciri: logis, sistematis, dan
metodis.
Logis, artinya berdasarkan fakta dan logika (hukum berfikir)
yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sistematis,
artinya merupakan satu kesatuan yang saling terkait, runtut, berkesinambungan
dan bersinergi.
Metodis, artinya
menggunakan metode ilmiah yang dapat diuji dan dikaji ulang.
Selain itu, proses
dan hasil penelitian ini kemudian harus dilaporkan secara tertulis dengan
sistematika yang ilmiah pula.
Pada
sisi lain, pemeriksaan perkara secara yuridis merupakan sebuah proses litigasi
(peradilan) yang harus dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum acara. Oleh
sebab itu, ia tunduk pada hukum acara dan tatacara pemeriksaan perkara yang
memiliki ciri-ciri: yuridis, humanis, dan pragmatis.
Yuridis,
artinya dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku dengan menjunjung
tinggi prosedur yang resmi dan otentik, persamaan di depan hukum, adil,
independen, transparan, dan akuntabel.
Humanis, artinya menjunjung
tinggi dan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan seutuhnya dengan menempatkan
pencari keadilan sebagai subyek yang sedang mencari keadilan, menghargai
hak asasi pencari keadialan, dan dijalankan secara manusiawi.
Pencari
keadilan adalah subyek yang sedang mencari keadilan, mereka bukanlah obyek yang
harus diperiksa dan diadili. Oleh karena itu, pengadilan harus memperlakukan
pencari keadilan sebagai subyek yang memiliki karsa2, rasa3
dan rasio4 yang harus dihormati.
Pragmatis, artinya dengan
proses yang mudah dipahami, mudah dilaksanakan, dan memberi manfaat nyata yang
lebih besar bagi pihak-pihak yang berperkara khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya. Selain itu, proses dan hasil pemeriksaan perkara ini harus dilaporkan secara
resmi dalam bentuk berita acara dan surat-surat lainnya yang otentik dan dilaporkan
secara tertulis dalam bentuk surat putusan yang memenuhi syarat legalitas,
idealitas, dan etika dan estitika.
Bagaimana
tatacara pemeriksaan perkara di persidangan melalui pendekatan yuridis
akademis? Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan muatan metode ilmiah ke
dalam proses pemeriksaan perkara dengan mengikuti ketentuan hukum acara yang
berlaku. Hukum acara merupakan rel yang mengatur arah dan jalannya pemeriksaan,
sedang pendekatan akademis merupakan muatan metode dan seni dalam menjalankan
roda pemeriksaan.
Uraian
berikut ini belum menjawab semua persoalan dalam pemeriksaan perkara yang amat
kompleks melainkan sekedar memberikan latihan dasar (basic traning)
dalam mendalami praktik peradilan.5
Asas
Personalitas Keislaman dan Prinsip Syariah
Berbicara
tentang pemeriksaan perkara di pengadilan agama tidak terlepas dari asas
personalitas keislaman dan prinsip syariah. Ditinjau dari aspek kedudukannya,
pengadilan agama merupakan pengadilan negara pelaku kekuasaan kehakiman.
Ditinjau dari aspek kelembagaannya, pengadilan agama merupakan lembaga negara
dengan desain khusus yang memenuhi standar lembaga peradilan syariah Islam
berdasarkan prinsip syariah. Ditinjau dari aspek peran dan fungsinya,
pengadilan agama merupakan peradilan negara dengan tugas pokok memberi
pelayanan hukum dan keadilan berdasarkan hukum syariah Islam kepada masyarakat
Islam berdasarkan asas personalitas keislaman.
Asas
personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan hukum Islam kepada
setiap person yang beragama Islam. Asas ini dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam
bukunya Kedudukan, Kewenangan dan Hukum Acara Pengadilan Agama, namun sayangnya
Yahya Harahap tidak menjelaskan lebih lanjut tentang asas ini.6
Menurut penulis, selengkapnya asas ini mengajarkan
bahwa:
1.
Terhadap setiap muslim, badan hukum Islam, dan badan hukum yang dimiliki oleh
orang Islam berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam.
2.
Terhadap non muslim tidak berlaku dan tidak tunduk pada hukum syariah Islam,
kecuali jika terjadi penundukan diri pada hukum syariah Islam baik atas kehendak
subyek hukum, hukum maupun atas kehendak undang-undang.
3.
Penundukan diri atas kehendak subyek hukum dapat terjadi dalam bidang hukum
muamalah, ekonomi syariah, dan jinayah. Dalam bidang muamalah dan ekonomi
syariah, subyek hukum non muslim dapat menundukkan diri pada hukum syariah
Islam ketika membuat perjanjian dengan orang Islam dan/atau badan hukum syariah
Islam berdasarkan prinsip syariah. Dalam bidang jinayah, orang non muslim yang melakukan
suatu tindak pidana yang diatur dalam 2 (dua) peraturan hukum, yaitu qanun
jinayah dan hukum pidana, maka ia dapat memilih untuk diadili menurut hukum
jinayah atau hukum pidana.
4.
Penundukan diri atas kehendak hukum terjadi dalam perkara waris yang pewarisnya
beragama Islam. Dalam perkara waris yang pewarisnya beragama Islam, maka mutlak
berlaku hukum waris Islam. Ahli waris yang non muslim harus tunduk pada hukum
waris Islam karena perkara waris tersebut tunduk hukum syariah Islam. Ia tidak
berhak menolak pemberlakuan hukum waris
Islam
atas perkara waris tersebut dan juga tidak boleh mencari alternative dengan
memilih hukum waris lain untuk penyelesaian perkara waris yang pewarisnya
beragama Islam.
5.
Penundukan diri atas kehendak undang-undang terjadi dalam hukum jinayah, yakni
bagi non muslim yang melakukan tindak pidana jinayah yang tidak diatur dalam
undang-undang hukumn pidana, maka undang-undang mengharuskan pelakunya diadili
menurut qanun jinayah.
6.
Dalam bidang hukum ibadah dan akad nikah tidak dikenal adanya penundukan diri
pada hukum syariah Islam karena hal ini hanya sah jika dilakukan oleh orang
Islam.
Terhadap
subyek hukum Islam dan juga subyek hukum non Islam yang menundukkan diri pada
hukum syariah Islam sebagaimana tersebut di atas berlaku dan tunduk pada hukum
syariah Islam. Asas ini menjadi dasar pemberlakuan hukum Islam terhadap orang
Islam, badan hukum Islam, dan badan hukum yang dimiliki orang Islam.
Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Hakim dan pembentuk hukum (peraturan
perundang-undangan) terikat dengan asas ini.
Beragama
Islam
Seseorang
dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian; sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya (Pasal 172 KHI).
Orang Islam dan badan hukum Islam merupakan subyek hukum Islam (mukallaf)
yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam, sesuai asas
personalitas keislaman.
Prinsip
Syariah merupakan Dasar Kompetensi Pengadilan Agama
Tujuan
dibentuk dan diselenggrakan peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan syariah Islam yang diatur dengan undang-undang. Pasal 58
ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang. Jika Pasal ini diperjelas dan dipertegas
berdasarkan prinsip syariah, maka Pasal ini memberi pengertian bahwa pengadilan
agama mengadili perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah
Islam, diadili berdasarkan hukum syariah Islam, dengan tidak membeda-bedakan
orang yang berperkara.
Kompetensi
peradilan syariah Islam itu diperoleh dari dari syariah Islam itu sendiri.
Prinsip syariah inilah yang menjadi dasar penentuan kompetensi peradilan
syariah Islam di manapun.
Di
Indonesia, peradilan syariah Islam ini dilakukan oleh pengadilan agama. Oleh
karena itu, prinsip syariah inilah yang menjadi dasar pengaturan kompetensi
pengadilan agama melalui Pasal 49 UU Peradilan Agama. Prinsip syariah ini
mengajarkan bahwa:
1.
Setiap muslim dan badan hukum dalam Islam wajib menjalankan syariah Islam
secara utuh (kaaffah).
2.
Terhadap setiap sengketa dan/atau pelanggaran yang terhadapnya berlaku hukum
syariah Islam harus diselesaikan menurut hukum syariah Islam.
3.
Setiap muslim wajib bertahkim kepada dan tunduk pada putusan lembaga syariah,
yakni mediator dan/atau pengadilan syariah Islam.
4.
Setiap perkara yang terhadapnya tunduk pada hukum syariah Islam menjadi kompetensi
absolut peradilan syariah Islam.
5.
Dalam menyelesaikan perkara syariah Islam tidak dikenal adanya pilihan hukum
dan pengadilan selain hukum dan pengadilan syariah Islam, berdasarkan
ketentuan Alquran Surat Al-Nisa’ ayat 56).7
Kompetensi
Peradilam Agama Menurut Syariah Islam
Penulis
berpendapat bahwa sejalan dengan tujuan dibentuk dan diselenggrakannya
peradilan agama, maka kompetensi Peradilan Agama didasarkan atas 7
(tujuh) prinsip dasar secara kumulatif, yaitu:
1.
Kompetensi Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam diperoleh dari syariah
Islam itu sendiri;
2.
Kompetensi peradilan syariah Islam adalah seluas syariah Islam;
3.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan agar setiap pemeluk agama percaya dan
bertaqwa kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran agamanya (include hukum-hukumnya)
masing-masing sebagaimana mestinya;
4.
Asas personalitas keislaman merupakan prinsip dasar pemberlakuan hukum syariah
Islam terhadap setiap muslim dan badan hukum dalam Islam;
5.
Prinsip-prinsip dasar kekuasaan mengadili merupakan prinsip dasar kekuasaan
absolut Peradilan Agama;
6.
Prinsip-prinsip peradilan syariah Islam merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan
Peradilan Agama;
7.
Prinsip dasar kekuasaan absolut peradilan syariah Islam merupakan prinsip dasar
kekuasaan Peradilan Agama.
Berdasarkan
tujuh prinsip dasar tersebut, maka seharusnya kompetensi Peradilan Agama adalah
seluas syariah Islam, yaitu bahwa Peradilan Agama sebagai
peradilaan syariah Islam pada prinsipnya berkuasa menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan perkara syariah Islam berdasarkan hukum syariah
Islam tanpa membeda-bedakan orang yang berperkara.8
Prinsip-prinsip
Dasar Kekuasaan Mengadili
Pengaturan
kekuasan mengadili masing-masing pengadilan didasarkan atas 6 (enam) prinsip
dasar kekuasaan mengadili bagi setiap pengadilan. Prinsip dasar adalah
kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berfikir, bertindak, dan sebagainya.
Enam prinsip dasar dimaksud adalah bahwa:
1. Kompetensi absolut setiap pengadilan didasarkan atas tujuan
dibentuk dan diselenggarakan pengadilan.
2. Kompetensi absolut pengadilan didasarkan atas persesuaian
antara spesifikasi pengadilan dengan spesialisasi perkaranya.
3. Kompetensi absolut pengadilan bersifat monopoli.
4. Kompetensi absolut pengadilan atas suatu perkara bersifat utuh (holistic/kaaffah)
meliputi seluruh bagian dari sistem hukum setiap jenis perkara.
5. Kompetensi absolut setiap pengadilan diatur dalam
undang-undang.
6. Dalam hal terjadi kekosongan undang-undang yang mengaturnya
maka penetapan kompetensi absolut atas suatu perkara dikembalikan kepada prinsip
dasar semula, yakni tujuan dibentuk dan diselenggarakannya suatu pengadilan.
Pedoman Dasar Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama
Berdasarkan asas personalitas keislaman dan prinsip syariah,
pengadilan agama sebagai peradilan yang bertugas memberi pelayanan hukum dan keadilan
berdasarkan syariah Islam berkuasa mengadili perkara-perkara yang terhadapnya
berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam. Perkara-perkara dimaksud, antara
lain, meliputi:
1. Bidang perkawinan.
Apabila perkwinannya dicatatkan pada PPN/KUA Kecamatan, berarti perkwinannya
dilakukan menurut hukum agama Islam. Oleh sebab itu segala sengketa dan
keperluan hukum lainnya dalam hukum keluarga tunduk pada hukum syariah Islam
dan hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Termasuk di dalamnya
mengenai hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, asal-usul anak,
pengangkatan anak, pemeliharaan anak, peminangan, dan lain sebagainya. (Pasal
63 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974).
2. Bidang waris.
Apabila pewaris beragama Islam, maka perkara yang berkaitan hukum pribadi
pewaris dan harta peninggalannya harus diselesaikan menurut hukum Islam. Dan
hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama.
Pasal 1 huruf b. KHI menyatakan bahwa pewaris adalah orang yang
pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
“beragama Islam”, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Permohonan legalisasi akta keahliwarisan diajukan ke pengadilan
agama, untuk kepentingan pengambilan tabungan dan lain-lain simpanan pada Bank,
milik nasabah yang telah meninggal dunia, merupakan pelayanan admistratif pengadilan
yang diproses secara administratif dalam bentuk berita acara dimana ketua
Pengadilan agama bertindak sebagai pejabat umum semata.9
Perkara P3HP, yakni permohonan pertolongan pembagian harta
peninggalan di luar sengketa diajukan ke pengadilan agama. Pasal 107 ayat (2)
UU Peradilan Agama yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 236 a Reglemen Indonesia yang dipebarui (RIB),
Staadblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembagian
harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal ini, maka permohonan pertolongan pembagian harta
peninggalan di luar sengketa menjadi kompetensi pengadilan agama.
3. Bidang wasiat dan hibah.
Apabila pewasiat dan pemberi hibah adalah orang Islam, maka tunduk
pada hukum Islam. Hal ini karena berdasarkan asas personalitas keislaman, subyek
hukum wasiat dan hibah dalan hukum Islam hanyalah orang Islam. Oleh sebab itu
berdasarkan prinsip syariah, hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan
agama.
4. Bidang wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah.
Wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah wakaf hanya ada dalam hukum
Islam sehingga hanya dilakukan oleh orang Islam. Oleh sebab itu, segala
sengketa mengenai hal ini menjadi kompetensi absolut pengadilan agama.
5. Bidang ekonomi syariah.
Ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh
orang serorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak
komersial menurut prinsip syariah (Pasal 1 angka 1 KHES).
Berdasarkan asas personalitas keislaman, subyek hukum ekonomi
syariah adalah orang Islam dan orang yang menundukkan diri pada hukum Islam.
Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan
usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum
untuk mendukung hak dan kewajiban (Pasal 1 angka 2 KHES).
Oleh
sebab itu berdasarkan prinsip syariah, hal ini menjadi kompetensi absolut
pengadilan agama. Jangkauan kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi
syariah meliputi seluruh aktifitas ekonomi orang Islam dan badan hukum
Islam selaku subyek hukum ekonomi syariah. Aktifitas ekonomi syariah dimaksud
antara lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2008 tanggal 10 September 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang
merupakan sebuah terobosan kebutuhan hukum dan perundang-undangan di
era reformasi.
6.
Bidang jinayah.
Pasal
125 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan bahwa Syariat Islam yang
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. Kemudian ayat
(2)-nya menyatakan bahwa syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),
dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Menurut ayat (3), ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Qanun Aceh.
Pasal
126 mengatur tentang penerapan asas personlitas keislaman di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Ayat (1) Pasal ini menyatakan bahwa setiap pemeluk agama
Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. Hal ini berarti
bahwa secara yuridis, hukum Islam berlaku secara imperatif bagi setiap orang Islam
yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal
128 ayat (3) dan (4) menetapakan sebagai berikut: (3) Mahkamah Syar’iyah
berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi
bidang ahwal al-syahsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan
jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. (4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai bidang ahwal alsyahsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan qanun.
7.
Perkara Syariah Lainnya.
Perkara
syariah yang belum diatur kompetensinya menjadi kompetensi pengadilan mana?
Dalam hal demikian maka harus dikembalikan kepada prinsip dasar semula,
yaitu bahwa semua perkara yang berdasarkan asas personalitas keislaman berlaku
dan tunduk pada hukum syariah Islam sehingga berdasarkan prinsip peradilan
syariah Islam tunduk kepada kompetensi pengadilan agama.
Memeriksa
Administrasi Berkas Perkara
Langkah
pertama pemeriksaan perkara adalah memeriksa administrasi berkas perkara karena
dari sinilah informasi awal dapat diperoleh sebelum melangkah lebih lanjut
dalam perjalanan pemeriksaan perkara di persidangan.
Administrasi
berkas perkara merupakan ujud nyata adanya perkara yang dapat dibaca, dikaji
dan dijadikan acuan dalam menyelesaikan dan mempelajari suatu perkara. Dalam
dunia hukum modern, tiada perkara tanpa administrasi berkas perkara. Langkah
awal ini akan menentukan arah dan lancarnya pemeriksaan perkara. Pemeriksaan
administrasi berkas perkara ini meliputi:
1.
Surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar dengan mendapatkan nomor perkara
di kepaniteraan. Surat gugatan/permohonan inilah yang akan menjadi acuan dalam
proses penyelesaian perkara.
2.
SKUM, panjar biaya perkara, dan tanda telah terdaftar. Pemeriksaan tidak dapat
dimulai apabila perkara belum didaftar (Pasal 55 UU No. 7 Tahun 1989). Pastikan
bahwa perkara telah terdaftar secara resmi di kepaniteraan pengadilan.
3.
Penetapan Majelis Hakim (PMH), Penunjukan Panitera Pengganti dan Jurusita/Juru
Sita Pengganti. Pastikan bahwa anda adalah majelis hakim yang diberi kewenangan
(tauliyah) dari ketua pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Demikian pula bagi panitera pengganti dan jurusita pengganti, pastikan bahwa
anda adalah panitera pengganti yang ditunjuk
oleh
panitera pengadilan untuk membantu majelis hakimnya. Majelis hakim, panitera
pengganti dan jurusita/jurusita pengganti merupakan sebuah tim kerja (tim work)
yang harus saling mendukung untuk bersama-sama secara proporsional
menyelesaikan perkara di bawah pimpinan ketua majelis.
4.
Apa ada permohonan prodeo. Permohonan beracara secara prodeo wajib dilayani
dengan sebaik-baiknya. Dalam acara perdata selalu dipegang teguh adagium “tiada
biaya tiada perkara”. Namun demikian, ketiadaan biaya bagi masyarakat
miskin tidak boleh menjadi penghalang untuk mendapat pelayanan hukum dan
keadilan. Setiap orang berhak mendapat pelayanan hukum dan keadilan yang
merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu, mereka boleh
berperkara secara cuma-cuma (prodeo).
5.
Apa ada permohonan sita. Apabila ada permohonan sita, maka harus diperiksa
lebih dahulu dalam pemeriksaan insidentil. Hakim pemeriksa perkara, dalam
PHS-nya, memiliki beberapa pilihan, yaitu:
1)
menetapkan hari sidang dengan menangguhkan sita,
2)
menetapkan hari sidang dan memerintahkan sita, atau
3)
memerintahkan sita dengan menangguhkan hari sidang.
6.
PHS dan relaas panggilan. Pemeriksaan belum dapat dimulai apabila para pihak
belum dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UU No.7 Tahun 1989).
Pemanggilan dilakukan berdasarkan perintah ketua majelis yang tertera di dalam
PHS.
7.
Apabila ada pihak yang diwakili oleh kuasa hukum, maka kuasa hukum tersebut
harus memiliki surat kuasa khusus yang sah, sudah terdaftar dan memenuhi
syarat. Tidak setiap orang boleh beracara di muka hakim, kecuali jika ia
memiliki legal standing yang sah. Legal standing para pihak dalam perkara harus
jelas dan memenuhi syarat.
8.
Kartu advokat harus yang masih berlaku untuk memastikan bahwa yang bersangkutan
masih memenuhi syarat sebagai advokat dan masih mendapat izin praktik beracara.
9.
Lakukan minutasi sejak dini secara kronologis. Minutasi merupakan bagian tak
terpisahkan dari tugas hakim pemeriksa perkara dengan dibantu oleh panitera
pengganti. Minutasi sejak dini akan meringankan pekerjaan, membuat tertib
pekerjaan dan merupakan alat kontrol secara dini kinerja majelis hakim dan
panitera penggantinya.
Posita
Sebagai Latar Belakang Masalah
Posita
memuat fakta-fakta, baik yang berupa perbuatan maupun peristiwa yang menjadi
dasar gugatan. Posita memuat obyek fakta (dalil gugat) yang harus dibuktikan
kebenarannya menurut hukum pembuktian. Posita yang terbukti dan mempunyai
akibat hukum menjadi fakta hukum. Setiap petitum harus didukung dengan posita.
Posita merupakan sebab (alasan) sedang petitum merupakan akibat (tuntutan).
Posita merupakan latar belakang masalah yang di dalamnya tergambar adanya
berbagai kesenjangan antara das sein dengan das sollen, antara
realita dan idealita, dan antara fakta yang terjadi dengan hukum yang seharusnya
terjadi. Pendeknya antara kenyataan di lapangan dengan apa yang seharusnya
menurut hukum.
Memeriksa
Petitum Sebagai Rumusan Masalah
Secara
litigasi, petitum merupakan rumusan permintaan (tuntutan) yang disimpulkan oleh
pemohon/penggugat sebagai solusi mengatasi atau mengakhiri berbagai kesenjangan
yang terjadi. Pemeriksaan perkara merupakan penelitian ilmiah di lapangan untuk
mengetahui kejadian yang sesungguhnya agar dapat menjawab rumusan masalah untuk
dikabulkan atau ditolak dengan amar putusan.
Pemeriksaan
perkara harus mengacu pada petitum secara berurutan dan berkesinambungan. Hakim
menggali fakta yang oleh penggugat dijadikan alasan diajukannya petitum
sehingga dapat diketahui alasan setiap petitum satu persatu. Hakim harus
mendapatkan alasan yang berupa fakta hukum untuk menjawab petitum satu persatu.
Jawaban
akhir atas rumusan masalah dituangkan dalam amar putusan. Amar putusan harus
menjawab semua petitum satu persatu. Setiap petitum harus didukung dengan
posita. Jika posita terbukti dan memiliki dasar hukum, maka petitumnya
dikabulkan. Jika posita tidak terbukti, maka petitum ditolak. Jika petitum
tanpa didukung dengan posita, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima atau
ditolak.
Menerapkan
Penalaran Logis Yuridis
Dalam
tataran pemikiran akademis yuiridis, maka pemeriksaan perkara merupakan sebuah
penelitian akademis yuridis yang langkah-langkahnya dapat diuraikan secara
kronologis sebagai berikut:
1.
Posita yang dikemukakan oleh pemohon/penggugat merupakan latar belakang masalah
yang padat dengan kesenjangan dan memerlukan penyelesaian di pengadilan.
2.
Petitum yang dikemukakan penggugat dalam surat gugatan merupakan solusi yang
diminta oleh penggugat untuk mengatasi kesenjangan. Petitum penggugat dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1)
petitum yang mohon kepastian hukum; dan
2)
petitum yang mohon keadilan. Petitum yang memohon kepastian hukum dijawab
dengan aturan hukum wadl’i, sedang petitum yang memohon keadilan dijawab dengan
aturan hukum taklifi.
Setiap
petitum harus ada alasan yang berupa fakta hukum dan selanjutnya dicari dasar
hukumnya dalam pertimbangan hukum untuk kemudian dirumuskan hasilnya dalam amar
putusan.
3.
Hakim sebagai peneliti, bertugas mengkonstatir secara ilmiah dan resmi kebenaran
fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. Yakni, apakah faktafakta yang
dikemukakan tersebut benar-benar telah terjadi berdasarkan penalaran yang logis
dan memenuhi standar pembuktian menurut hukum.
Kebenaran
faka-fakta tersebut, pembuktiannya secara materiil diukur dengan penalaran yang
logis, sedang pembuktiannya secara formil diukur menurut hukum pembuktian
sebagai logika hukum. Fakta yang meskipun menurut logika dianggap benar telah
terjadi, namun jika alat-alat buktinya tidak memenuhi syarat menurut hukum
pembuktian, maka dianggap belum terbukti.
Fakta
yang dapat dianggap telah terbukti hanyalah fakta yang cara pembuktiannya
memenuhi syarat hukum pembuktian.
4.
Hakim selaku judex factie, mengklasifikasikan faka-fakta tersebut
menjadi dua, yaitu: mana-mana yang terbukti menurut hukum pembuktian dan
manamana yang tidak terbukti. Fakta-fakta yang terbukti diklasifikasikan lagi menjadi
dua, yaitu: mana-mana yang relevan dengan pokok perkara dan mana-mana yang
tidak ada relevansinya dengan pokok perkara.
5.
Hakim menggali dan menemukan tatanan hukum yang berkaitan dengan fakta-fakta
tersebut sebagai sebuah das sollen.
5.1.
Hakim melihat kepada hukum tertulis, yakni peraturan perundangundangan, sebagai
sumber hukum utama (primer). Hukum tertulis merupakan hukum positif yang
berlaku. Termasuk hukum tertulis ini adalah perjanjian yang dibuat oleh para
pihak yang berperkara, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, norma
kesusilaan, dan agama.
5.2.
Hakim juga melihat kepada hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum sekunder.
Hukum tidak tertulis ini dapat berupa kompilasi hukum, kitab-kitab hukum,
kitab-kitab fikih, tafsir dan hadits yang membahas tentang hukum, dan
doktrin-doktrin dari para ahli.
5.3.
Hakim juga melihat pula adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat
dimana kasus itu terjadi atau obyek sengketa itu berada dan mengikat bagi para
pihak dalam perkara.
6.
Hukum yang ditemukan tersebut diklasifikasikan menurut daya kerjanya (daya pakasanya)
menjadi dua jenis, yaitu mana-mana yang termasuk hukum memaksa (dwangen
recht) dan mana-mana yang termasuk hukum yang hanya mengatur saja tetapi
tidak memaksa (aanvullend recht). Dalam hukum Islam, semua hukum wadl’i
termasuk hukum memaksa, sedang semua hukum taklifi termasuk hukum
yang hanya mengatur saja tetapi tidak memaksa.
7.
Hukum yang mengatur tentang persoon recht mengikat dan berlaku terhadap subyek
hukum kemanapun ia pergi. Hukum yang mengatur tentang benda tidak bergerak (zaken
recht) mengikat dan berlaku terhadap benda di tempat benda tetap itu
berada.
8.
Hakim mencocokkan hukum yang ditemukan dengan kasus yang dihadapi.
9.
Apabila dari sumber hukum yang ada tidak ditemukan hukum yang cocok untuk kasus
yang dihadapi, maka hakim melakukan interpretasi (penafsiran) hukum. Apabila
hal ini juga tidak memungkinkan, maka hakim menciptakan sendiri hukumnya
melalui asas-asas hukum dan filsafat hukum.
Merumuskan
Jenis dan Pokok Perkara
Merumuskan
jenis perkara guna menentukan kewenangan absolut pengadilan agama. Rumusan
jenis perkara ini mengacu pada Pasal 49 UU-PA, yaitu perkara perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Rumusan
jenis perkara ini nanti ditempatkan pada kalimat awal surat putusan setelah
nama pengadilan agama pemeriksa perkara.
Merumuskan
pokok perkara, guna menetapkan ruang lingkup hukum hukum yang berlaku atas
perkara tersebut sebagai sebuah sistem untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Rumusan pokok perkara ini dituliskan pada bagian awal pertimbangan hukum.
Sebagai
contoh, misalnya:
Contoh
rumusan jenis perkara:
PENGADILAN
AGAMA SEMARANG
memeriksa
dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan
putusan atas perkara ‘ekonomi syariah’ antara:
Rumusan
pokok perkaranya:
TENTANG
HUKUMNYA
Menimbang,
bahwa pokok perkara antara Penggugat dan Tergugat adalah sengketa bisnis
syariah, yaitu transaksi bai’ antara orang-orang yang beragama Islam
sehingga terhadap perkara ini berlaku dan tunduk pada hukum ekonomi syariah
Islam.
Contoh
lain, misalnya:
Contoh
rumusan jenis perkara:
PENGADILAN
AGAMA BANJARMASIN
memeriksa
dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan
putusan atas perkara ‘waris’ antara:
Rumusan
pokok perkaranya:
TENTANG
HUKUMNYA
Menimbang,
bahwa pokok perkara antara Penggugat dan Tergugat adalah sengketa pembagian
harta peninggalan pewaris, yaitu almarhum ...... yang beragama Islam
sehingga terhadap perkara ini berlaku dan tunduk pada hukum waris Islam.
Sidang Pengadilan
Sidang
pengadilan merupakan ujud praktik penelitian lapangan secara litigasi untuk
menggali fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
akademis yuridis sebagai bahan untuk menjawab petitum.
Dari
aspek hukum, tatacara sidang tunduk pada hukum acara, dari aspek ilmiyah tunduk
metode penelitian. Dari aspek sosiologis, harus memahami psikologi sosial
masyarakat setempat.
Membuka Sidang
Sidang
merupakan tindakan yuridis yang tunduk pada hukum acara dan protokoler
kelembagaan yudikatif. Sidang harus dinyatakan terbuka untuk umum sebagai
bentuk keterbukaan dan obyektifitas, kecuali UU menentukan lain atau atas
kebijaksanaan (pertimbangan) hakim yang dimuat dalam berita acara sidang,
misalnya demi menjaga nama baik para pihak, atau menjaga psikologi anak-anak
dan lain sebagainya, sehingga demi kelancaran pemeriksaan maka sidang dilakukan
secara tertutup. Sidang dapat dimulai apabila perkara sudah terdaftar dan para
pihak sudah dipanggil menurut peraturan perundangundangan yang berlaku..
Menunda Sidang
Pada
asasnya penundaan sidang itu dilarang, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh
UU. Penundaan sidang harus ada alasan sesuai hukum acara.
Penundaan
sidang harus memperhatikan keadaan para pihak dan asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan. Penundaan sidang harus diberitahukan kepada para pihak.
Penundaan sidang harus tercatat dalam Berita acara Sidang (BAS).
Memeriksa Identitas Para Pihak
Dalam
pemeriksaan perkara perdata selalu diawali dengan memeriksa identitas para
pihak yang berperkara. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk:
1)
mengetahui apakah pihak-pihak yang disebutkan dalam surat gugatan adalah benar
dia orangnya, bukan orang lain;
2)
mengetahui apakah pihak tersebut cakap melakukan perbuatan hukum;
3)
mengetahui apakah pihak tersebut mempunyai kepentingan hukum dengan perkara
karena hal ini berkaitan dengan legal standing pihak-pihak dalam
perkara; dan
4)
memperoleh data selengkapnya tentang diri para pihak sehingga hakim memiliki
data lengkap
tentang
orang yang bersangkutan, baik berkaitan dengan jati dirinya, strata sosialnya,
maupun penghasilannya yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambik
keputusan.
Identitas
para pihak ini selengkapnya, antara lain, meliputi:
1.
Nama lengkap, yakni untuk memastikan bahwa subyek yang dimaksudkan dalam
perkara adalah dia, bukan orang lain. Selain itu, perlu diketahui pula nama
panggilan yang disukai olehnya untuk membangun komunikasi demi kelancaran
pemeriksaan. Nama adalah nyanyian yang paling merdu bagi pemiliknya. Panggillah
mereka dengan namanya yang paling indah.
2.
Jenis kelamin, yakni laki-laki atau perempuan. Hal ini disamping untuk melengkapi
identitas jati diri seseorang juga kadang diperlukan manakala hukum memberi
aturan khusus bagi masing-masing jenis kelamin. Seperti dalam hukum waris, hak
dan kewajiban suami istri, dan lain sebagainya.
Selain
itu, hal ini sangat berguna bagi hakim dalam menentukan cara berkomunikasi.
Berkomunikasi dengan orang perempuan tentu berbeda dengan cara berkomunikasi
dengan orang laki-laki. Dalam bahasa pergaulan, masing-masing punya gaya dan
cara tersendiri.
3.
Umur dan/atau tanggal lahir. Hal ini berkaitan dengan kedewasaan seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Data tanggal lahir bersifat permanen,
sedang data umur selalu bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Selain
itu, hal ini sangat berguna bagi hakim dalam menentukan cara berkomunikasi.
Berkomunikasi dengan anak anak kecil tentu berbeda dengan cara berkomunikasi
dengan anak muda dan orang dewasa.
4.
Agama. Hal ini berkaitan dengan:
1)
asas personalitas keislaman dalam rangka pemberlakuan hukum Islam, baik
terhadap muslim maupun non muslim yang menundukkan diri pada hukum Islam; dan
2)
hak eksepsi non muslim terhadap obyek perkara yang berada di luar ruang lingkup
Pasal 49 UU-Pengadilan Agama tetapi terbawa masuk ke dalam perkara pokok yang termasuk dalam ruang
lingkup Pasal 49 UU-Pengadilan Agama yang di dalam UU dikatagorikan dengan istilah ‘sengketa
kepemilikan dan keperdataan lain’ di luar ruang lingkup Pasal 49 UU-Pengadilan Agama.
5.
Pendidikan. Hal berkaitan dengan pemetaan data tentang pendidikan dan pengaruhnya
terhadap kelestarian perkawinan, ketaatannya pada hukum, dan lain sebagainya.
6.
Pekerjaan. Hal ini disamping berkaitan dengan
kelengkapan identitas diri para pihak juga berkaitan dengan pertimbangan dalam
menetapkan kewajiban suami dalam memberi nafkah dan mut’ah bagi bekas istrinya.
7.
Tempat tinggal. Hal ini berkaitan dengan kompetensi pengadilan, pemanggilan
pihak, hukum yang hidup dalam masyarakat setempat, dan lain sebagainya.
Melaksanakan Upaya Damai dan Proses Mediasi
Pada
sidang pertama dimana para pihak hadir, hakim wajib berusaha mendamaikan.
Apabila tidak berhasil, hakim memerintahkan para pihak untuk menempuh proses
mediasi, sesuai PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Jika mediasi menghasilkan
kesepakatan, maka perkara dicabut atau dibuat akta perdamaian.
Jika
upaya damai lewat mediasi gagal atau tidak layak mediasi, maka pemeriksaan
secara litigasi dilanjutkan.
Memeriksa Syarat Formil Perkara
Syarat
formil perkara merupakan syarat untuk menentukan apakah suatu perkara dapat
diperiksa dan diadili dalam persidangan litigasi. Syarat formil ini ada yang
melekat pada perkara (baik pada surat gugatan/ permohonan maupun pada substansi
perkara), pada para pihak yang berperkara, dan pada pengadilan yang menangani
perkara. Jika suatu perkara tidak memenuhi syarat formil, maka perkara tidak
dapat diperiksa dan dan diadili dan oleh karenanya harus dinyatakan ‘tidak
dapat diterima’.
1.
Apakah PA berwenang mengadili perkara ini?
Yang
menjadi kompetensi PA adalah ‘perkara’ yang terhadapnya berlaku dan
tunduk pada hukum syariah Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU PA. Pada
prinsipnya, pengadilan agama sebagai peradilan syariah Islam berkuasa mengadili
setiap perkara yang terhadapnya berlaku dan tunduk pada hukum syariah Islam.
Penggugat
maupun tergugat sebagai pihak yang mempunyai kepentingan hukum atas perkara
yang diajukan di muka PA tidak disyaratkan harus muslim. Yang diadili oleh PA
adalah perkaranya, bukan orang yang berkara.
Dalam
perkara ekonomi syariah, apakah para pihak dalam akad (perjanjian) tidak ada
klausula bahwa apabila terjadi sengketa akan diselesaikan lewat badan arbitrase
syariah nasional (BASYARNAS) sebagai alternative penyelesaian sengketa yang sah
di luar PA.
2.
Apakah penggugat dan tergugat memenuhi syarat untuk menjadi pihak dalam
perkara?
Yakni
apakah para pihak adalah termasuk orang-orang yang cakap melakukan tindakan
hukum dan mempunyai kepentingan hukum terhadap perkara yang diajukan.
Apakah
kuasa hukum sebagai pihak formil memiliki kompetensi sebagai advokat atau kuasa
insidentil dan mempunyai surat kuasa khusus untuk mewakili pihak materiil.
3.
Apakah perkara ini tidak kurang pihak?
Jika
dalam suatu perkara terjadi kurang pihak, maka pemeriksaan tidak mungkin dapat
dilanjutkan sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima..
4.
Apakah surat gugatan tidak obscuur (kabur), yakni tidak jelas siapa yang
menggugat, siapa yang digugat, dan apa yang digugat, baik secara yuridis (tidak
memenuhi syarat hukum sebagai pihak dlm perkara) maupun substansi (tidak jelas mengenai
identitas pihak sehingga tidak menunjuk pada orang tertentu atau spesifikasi
barang obyek sengketa sehingga tidak menunjuk pada obyek tertentus yang
berakibat pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.
5.
Apakah perkara ini tidak prematur, tidak kedaluwarsa, dan tidak nebis in idem?
Hal ini berakibat perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
6.
Apakah majelis hakim/panitera atau panitera penganti tidak ada yang wajib undur
diri karena ada konflik kepentingan atau karena alasan lain.
7.
Menyeleksi hal-hal yang bersifat eksepsional, yakni prodeo, sita, eksepsi, dan
provisi.
8.
Apabila ada permohonan izin berperkara secara prodeo, maka permohonan tersebut
harus diperiksa dan diputus lebih dahulu.
9.
Apabila ada permohonan sita, maka harus diperiksa lebih dahulu untuk menjawab
permohonan sita tersebut.
10.
Apabila dalam jawaban terdapat eksepsi kewenangan, maka eksepsi tersebut harus
diperiksa dan diputus lebih dahulu.
11.
Apabila eksepsi dikabulkan, maka diputus dengan putusan akhir.
12.
Apabila eksepsi ditolak, maka diputus dengan putusan sela dan pemeriksaan
dilanjutkan.
13.
Apabila ada gugatan provisionil, maka harus diperiksa dan diputus lebih dahulu.
14.
Gugatan provisionil dapat dikabulkan jika:
1)
gugatan tersebut beralasan,
2)
bukan mengenai pokok perkara,
3)
berdasarkan bukti yang secara hukum tak terbantahkan lagi,
4)
penggugat memiliki hak atas obyek tersebut,
5)
dapat menunjang pokok perkara.
15.
Jika gugatan provisionil tidak cukup syarat-syaratnya, maka harus ditolak.
Menginventarisir
Dalil-Dalil Gugat
Dalil
gugat terhimpun dalam posita yang merupakan bagian dari surat gugatan atau
permohonan.
1.
Hakim menginventarisir dalil-dalil gugat secara rinci dan kronologis guna menemukan
fakta hukum yang urut dan sistematis.
2.
Dalil-dalil gugat dipilah dan dipilih mana yang relevan dengan pokok perkara dan
berpengaruh terhadap putusan akhir.
3.
Dalil-dalil gugat yang urgen merupakan fakta yang harus dibuktikan guna mejawab
petitum penggugat.
4.
Hakim membuat daftar inventarisasi dalil gugat.
Menginventarisir
Jawaban
Jawaban
tergugat yang terhimpun dalam surat jawaban. Di dalam jawaban bisa saja dimuat
eksepsi, jawaban atas konvensi, dan pengajuan rekonvensi.
1.
Apabila jawaban disampaikan secara lisan, maka hakim menanyakan kebenaran
dalil-dalil gugat kepada tergugat.
2.
Apabila disampaikan secara tertulis, maka hakim menanyakan dalil gugat. yang
belum dijawab secara tertulis.
3.
Hal ini juga dilakukan pada tahap replik dan duplik.
4.
Hakim dapat membuat daftar inventarisasi jawaban.
Menyeleksi
Dalil-dalil Gugat dan Jawaban
Dalil
gugat yang sudang diinventarisir kemudian disandingkan dengan jawaban tergugat
untuk diketahui mana-mana yang diakui atau dibantah oleh tergugat dengan cara
sebagai berikut:
1.
Hakim dapat membuat DIM dalil gugat dan jawaban tergugat.
2.
Hakim menyeleksi dalil gugat mana yang diakui dan yang dibantah oleh tergugat.
3.
Dalil gugat yang diakui secara murni dinilai telah terbukti.
4.
Dalil gugat yang diakui dengan klausula atau dengan syarat, harus dibuktikan
klausul atau syarat tersebut.
5.
Dalil gugat yang dibantah harus pula dibuktikan dalil gugat maupun bantahannya.
6.
Dalil gugat yang tidak dibantah atau dibantah tetapi bantahannya tidak punya alasan
yang cukup, maka dianggap telah terbukti, kecuali jika hakim berpendapat perlu
dikonstatir lebih lanjut untuk mendapat kejelasan.
7.
Jika masih dipandang perlu, pemeriksaan dapat dilanjutkan pada replik, rereplik
dan duplik serta reduplik.
8.
Jika acara jawab menjawab telah cukup namun masih ada hal-hal yang masih
disengketakan maka dilanjutkan ke acara pembuktian.
Membuktikan
Kebenaran Fakta
Salah
satu dari ciri khas proses peradilan (litigasi) adalah membuktikan kebenaran
fakta sebagai dasar untuk mempertimbangkan hukum mengenai sengketa yang
terjadi.
1.
Fakta yang masih disengketakan dan relevan dengan pokok perkara harus dibuktikan.
2.
Fakta yang meskipun tidak disengketakan tetapi untuk menghindari putusan yang
non eksekutabel, harus pula dibuktikan.
3.
Fakta yang menurut undang-undang hanya dapat dibuktikan dengan akta otentik,
maka harus dibuktikan dengan akta otentik. Pengakuan semata atas dalil gugat
belum cukup menjadi bukti.
4.
Pembuktian dilakukan sesuai hukum pembuktian.
5.
Pihak yang mendalilkan suatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa yang menjadi
dasar adanya hak, harus membuktikan. Artinya, penggugat yang mendalilkan adanya
hak atau mendalilkan suatu peristiwa yang menjadi dasar adanya hak terhadap
tergugat, apabila dibantah oleh tergugat, maka penggugat harus membuktikan.
6.
Pihak yang membantah hak pihak lawan harus pula membuktikan bantahannya itu.
Artinya, tergugat yang membantah hak-hak penggugat harus membuktikan
bantahannya itu.
7.
Beban bukti ditetapkan oleh hakim secara adil dan berimbang.
8.
Dalil gugat yang terbukti dikabulkan dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan
tuntutan.
9.
Bantahan yang terbukti dapat dijadikan alasan untuk menolak tuntutan penggugat.
10.
Apabila dalil gugat tidak dapat dibuktikan, maka gugatan (tuntutannya) harus ditolak.
11.
Aapbila bantahan tidak terbukti, maka dalil gugat dianggap terbukti dan oleh karenanya
tuntutan penggugat dapat dikabulkan.
12.
Alat bukti elektronik yang telah lazim dipakai dalam aktifitas ekonomi dan/atau
perbankan menjadi alat bukti yang sah dalam sengketa ekonomi syariah dan
sengketa kebendaan lainnya, sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
Melaksanakan
Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan
setempat merupakan salah satu alat pembuktian dalam hukum acara.
1.
Apabila obyek perkara berupa benda tetap, maka untuk mencocokkan antara data
yuridis di berkas perkara dengan data riil di lapangan perlu dilakukan pemeriksaan
setempat.
2.
Hasil pemeriksaan setempat menjadi bukti kebenaran substansial obyek perkara.
Apabila terjadi perbedaan data tertulis mengenai obyek perkara yang terdapat
dalam surat gugatan atau surat-surat lainnya dengan data terakhir yang dieroleh
melalui pemeriksaan setempat, maka yang dipakai adalah data yang terakhir
karena data inilah yang sesuai dengan kenyataan di lapangan.
3.
Apabila ada pihak atau saksi yang tidak memungkinkan untuk hadir di persidangan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan setempat guna mendengar keterangan pihak atau
saksi dimaksud.
4.
Hakim harus aktif dalam memeriksa perkara untuk memperoleh kebenaran fakta.
5.
Pemeriksaan setempat dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran data agar dapat
memberi putusan yang benar dan menghindari putusan yang non eksekutabel.
Fakta-fakta
Yang Tidak Perlu dibuktikan
Dalam
pemeriksaan perkara perdata, tidak semua fakta harus dibuktikan.
Ada
8 (delapan) fakta yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
1.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Dikecualikan dari hal ini, dalam perkara perceraian
dan perkara yang berkaitan dengan legalitas suatu hubungan hukum antara dua
pihak, seperti asal-usul, perkawinan, dan lain sebagainya yang harus dibuktikan
dengan akta otentik. Dalam perkara perceraian, meskipun hakim menjatuhkan
putusan verstek namun alasan-alasan perceraian harus dibuktikan.
2.
Dalam hal tergugat mengakui dalil-dalil gugat. Pengakuan merupakan alat bukti
yang mengikat dan menentukan. Hakim terikat dengan pengakuan tergugat.
Dikecualikan dari hal ini dalam perkara perceraian dan perkara yang berkaitan
dengan legalitas suatu hubungan hukum antara dua pihak, seperti asal-usul,
perkawinan, dan lain sebagainya yang harus dibuktikan dengan akta otentik.
Dalam perkara perceraian, meskipun tergugat mengakui dalil-dalil gugat namun
dalil gugat yang dijadikan alasan perceraian tetap harus dibuktikan.
3.
Dalam telah dilakukan sumpah decisoir. Sumpah decisoir merupakan alat bukti
yang menentukan dan tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
4.
Dalam hal bantahan pihak lawan kurang cukup atau dalam hal terjadi referte. Referte
artinya jawaban tergugat yang berbelit-belit atau menyerahkan aja kepada
keputusan hakim. Dalam terjadi demikian, maka tidak perlu pembuktian lebih
lanjut, kecuali dalam perkara perceraian dan perkara yang berkaitan dengan
legalitas hubungan hukum seperti perkawinan dan asal-usul anak.
5.
Dalam apa yang dikenal sebagai peristiwa natoir, yaqkni peristiwa yang diketahui
umum.
6.
Dalam peristiwa yang terjadi di muka sidang sehingga menjadi pengetahuan hakim.
7.
Dalam hal yang termasuk pengetahuan tentang pengalaman yang telah menjadi
pengetahuan umum atau yang terjadi secara rutin.
8.
Dalam hal-hal yang bersifat negatif (tidak ada atau tidak pernah).
Memilih
dan Menentukan Sistem Hukum
Memilih
dan menentukan sistem hukum ini dimaksudkan untuk mendapatkan sistem hukum yang
tepat karena mengingat bahwa di Indonesia berlaku berbagai sistem hukum.
Demikian pula dengan sistem hukum Islam di Indonesia.
1.
Hakim harus memilih sistem hukum yang cocok bagi masyarakat muslim setempat.
2.
Jika ketentuan hukum yang diatur dalam kitab hukum ataupun peraturan perundang-undangan
yang ada ternyata tidak sesuai dengan kasus yang dihadapi serta kesadaran hukum
dan rasa keadilan masyarakat setempat, maka hakim harus berijtihad untuk
menemukan hukum yang cocok bagi kasus yang ditangani itu.
3.
Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 menegaskan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yangg hidup dalam
masyarakat.
4.
Hakim itu ibarat dokter, sedang peraturan perundang-undangan ibarat obat paten.
Manakala dokter berpendapat bahwa berdasarkan hasil diagnose, obat paten yang
ada tidak cocok diberikan kepada pasien untuk mengobati penyakitnya, maka
dokter tentu membuat resep sendiri dengan meramu obat yang menurut ilmunya
dinilai cocok untuk sang pasien.
5.
Manakala hakim berpendapat bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata
peraturan perundang-undangan yang ada tidak cocok untuk menyelesaikan perkara
tersebut, maka hakim harus merumuskan hukumnya sendiri dengan metode ijtihad
yang dapat dipertanggungjawabkan yang menurutnya dinilai cocok untuk
menyelesaikan kasusnya itu.
6.
Hakim wajib berijtihad (Pasal 1 ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2008 Tentang KHES
dan Pasal 229 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI).
7.
Dalam sengketa mengenai status hukum, maka hakim berpegang kepada norma hukum
yang ada demi kepastian hukum.
8.
Dalam sengketa kebendaan, maka hakim harus mempertimbangkan aspek keadilan
material dengan memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
9.
Cacat hukum dalam hubungan keperdataan tidak menutup kewajiban hakim untuk
memberi keadilan berdasarkan asas hukum dan keseimbangan hak dan kewajiban.
10.
Hakim dapat menyatakan hubungan hukum yang cacat (karena bertentangan dengan
norma hukum) tidak berkekuatan hukum sehingga tidak mengikat.
11.
Selanjutnya hakim wajib mengadili sesuai asas hukum yang benar dan adil.
Menemukan
Hukumnya
Dengan
berpedoman pada sistem hukum yang tepat, hakim akan dapat menemukan hukum yang
tepat bagi kasus-kasus yang ditanganinya itu. Dalam membuat pertimbangan, harus
dijelaskan tentang alasan (illat) hukum, dasar hukumnya, dan sumber hukumnya
(baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis). Hakim berpedoman pada
asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terkait serta hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat setempat.
Menerapkan
Hukum
Hakim
menerapkan hukum pada kasus yang diperiksa dan hasil akhirnya dimuat dalam amar
putusan. Penerapan hukum dilakukan secara sillogisme yang diuraikan dalam
pertimbangan hukum. Penerapan hukum dengan memperhatikan daya kerja (daya
paksa) hukum sebagai berikut:
1.
Ketentutan hukum wadl’i yang memiliki sifat memaksa (dwangen recht) diterapkan
secara imperatif demi kepastian hukum. Yang dimaksud dengan hukum wadl’i adalah
hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, rukun, sah dan batalnya suatu akad
atau perbuatan hukum yang berorientasi pada kepastian hukum.
2.
Ketentuan hukum taklifi yang memliki sifat mengatur (aanfullend recht) diterapkan
secara fakultatif berdasarkan illat (alasan) hukumnya demi terwujudnya
keadilan. Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum yang mengatur
hubungan hak dan kewajiban antar subyek hukum (mukallaf) baik berdasarkan akad,
aturan hukum, perundang-undangan dan/atau asas tanggung jawab (taklif).
3.
Ketentuan hukum takhyiri yang bersifat melindungan hak privasi diterapkan secara
alternatif sesuai pilihan subyek hukum.
Dalam
hal-hal tertentu, undang-undang memberi hak ex officio kepada hakim
untuk memutus lebih dari yang diminta demi terwujudnya keadilan. Dalam keadaan
demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan hak ex officio meskipun
tidak ada permintaan dari penggugat atau tergugat dalam petitumnya.
Hal
ini dapat terjadi, antara lain, dalam perkara perceraian dan hadanah.
1.
Pasal 41 huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan ketentuan Pasal 149
KHI, kewajiban suami yang menceraikan istrinya, antara lain, adalah memberi
nafkah idah dan mut’ah.
2.
Pasal 155 huruf f KHI menyatakan bahwa pengadilan dapat pula dengan mengingat
kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.
Merumuskan
Amar Putusan
Amar
putusan merupakan:
1)
hasil akhir dari proses persidangan;
2)
kesimpulan akhir dari analisis fakta setelah dipertimbangkan hukumnya; dan
3)
jawaban atas petitum. Setiap amar harus ada pertimbangan hukumnya, setiap pertimbangan
hukum harus ada fakta yang dipertimbangkan.
Oleh
sebab itu, amar putusan hakim harus:
1.
Mengadili seluruh petitum,
2.
Mengadili tidak lebih dari petitum (kecuali undang-undang menentukan lain),
3.
Dapat dieksekusi, dan
4.
Menetapkan biaya perkara.
5.
Menggunakan kalimat yang jelas, tegas, lugas, lengkap, terukur, mudah dipahami
dan dilaksanakan.
Apabila
dalam petitum terdapat kekurangan yang bersifat assesoris, bukan subtansial,
maka hakim dengan pertimbangannya sendiri berdasarkan Pasal 58 ayat (2) UU-PA
wajib menyempurnakannya sehingga amar putusan memenuhi rasa keadilan dan
eksekutabel.
Menyusun
Surat Putusan
Surat
putusan merupakan laporan penelitian ilmiah yang harus dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis akademis. Surat putusan yang berkualitas harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Syarat legalitas, yakni syarat yang menentukan sah atau tidaknya
putusan sehingga mengikat, berkekuatan hukum dan eksekutabel. SEMA Nomor 02 Tahun
1972 tanggal 19 Mei 1972 menetapkan bahwa format surat putusan dibuat
sebagaimana akta notaris. Sampai saat ini kita belum memiliki peraturan
tersendiri tentang pembuatan surat putusan. Oleh sebab hal ini merupakan kebutuhan
penting di lingkungan peradilan dan berlaku khusus di lingkungan peradilan,
maka sudah seharusnya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung
pembuatan surat putusan, penetapan, akta perdamian dan tatacara pembuatan
salinannya.
2.
Syarat idealitas, yakni syarat yang berkaitan dengan argumen dan kelengkapan
putusan dari berbagai aspek tinjauan dari multi disiplin ilmu secara terpadu
yang meliputi aspek filosofis, konstitusional, politis, yuridis, sosiologis,
psikologis, releigius, dan pragmatis.
3.
Syarat etika dan estetika, yakni syarat yang berkaitan dengan
format surat putusan, susunan, tatabahasa dan rasa bahasa, keindahan dan
kesantunan bahasa serta tata penulisannya.
4.
Syarat integritas, yakni syarat yang berkaitan perilaku hakim
pemeriksa perkara yang mampu menjaga diri di mata publik pada umumnya dan di mata
pihak-pihak yang berperkara pada khususnya sehingga menimbulkan kesan arif,
terpercaya, dan bijaksana serta tidak menimbulkan kesan memihak. Hal ini dapat
dilakukan dengan menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Sidang
Pengucapan Putusan
Sidang
pengucapan putusan terbuka untuk umum. Surat putusan harus sudah jadi dan telah
dikoreksi dengan diparaf oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti. Formulir AMP harus sudah siap untuk
ditandatangai oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti. Kehadiran pihak-pihak diterangkan pada
bagian akhir putusan. Kehadiran pihak berlaku sebagai PBT putusan. Pihak yang
tidak hadir harus diberitahukan tentang isi putusan dengan PBT melalui JSTP
atau JSTP.
Minutasi
Berkas Perkara
Minutasi
merupakan bagian tugas pokok dalam proses peradilan dan menjadi tanggung jawab
majelis hakim pemeriksa perkara yang dipimpin oleh ketua majelis dan dibantu
oleh panitera pengganti.
1.
Setiap dokumen persidangan hanya sah dan mempunyai nilai otentik jika telah ditandatangai
oleh pejabat yang berwenang.
2.
Semua alat bukti tertulis harus diparaf oleh Ketua Majelis sebagai tanda telah diperiksa.
3.
BAS harus sudah ditandatangani sebelum sidang berikutnya.
4.
Semua surat berkas perkara harus sudah selesai satu minggu setelah sidang terakhir.
5.
Dalam waktu dua minggu, berkas perkara harus sudah dibundel sebagai Bundel A,
baik ada upaya hukum maupun tidak ada upaya hukum atas perkara tersebut.
Melaksanakan
Eksekusi
Eksekusi
merupakan puncak proses peradilan yang menjadi tujuan para pencari keadilan.
Putusan tanpa seksekusi merupakan tindakan mubazir yang tidak perlu.
1.
Putusan hakim yang baik adalah putusan yang secara yuridis dapat dieksekusi
2.
Putusan yg non eksekutabel menunjukkan unprofesionalitas hakim
3.
Putusan yang non eksekutabel menjadi tanggung jawab hakim, kecuali jika disebabkan
oleh faktor-faktor lain di luar jangkauan hakim ketika melakukan pemeriksaan
4.
Dengan adanya eksekusi, maka perkara telah selesai secara tuntas.
Selamat
dan sukses buat anda semua. Tegakkan hukum dan keadilan.
Wujudkan
visi Peradilan Yang Agung.
Terima
Kasih
Footnote
1
Bahan Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama Seluruh
Indonesia Tanggal 24 September sd 28 November 2012 Pusdiklat Badan Litbang
Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung, Bogor. Bahan diklatb ini dipublikasikan
dengan maksud agar memberi manfaat yang lebih luas dan sekaligus mendapat
koreksi dari para ahli manakala terdapat kekeliriuan agar tidak menyesatkan.
Terima kasih.
2
Karsa adalah keinginan sebagai manusia yang merupakan hak asasi yang harus
dijamin sepanjang tidak bertentangan dengan keinginan orang lain, hukum dan
keadilan, serta kehendak Tuhan (agama).
3
Rasa adalah harga diri sebagai manusia yang membutuhkan kepuasan berupa
penghormatan dari orang lain sehingga perasaan mereka harus dihormati oleh
orang lain, termasuk oleh pengadilan.
4
Rasio adalah pemikiran logis yang membutuhkan kepuasan kebenaran sesuai alam
pikirannya.
5
Uraian ini sekedar mengenal tata urutan dalam pemeriksaan perkara secara gairs
besar. Sedang
mengenai
rincian pada masing=masing bagian atau tahapan lebih lanjut diperlukan kajian tersendiri.
6
Yahya Harahap, op., cit., hlm. 55. Asas ini pertama kali diperkenalkan pada
Tahun 1990 oleh Yahya Harahap dalam bukunya tersebut. Kemudian menjadi istilah
resmi dalam Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh,
sebagai dasar pemberlakuan hukum syariah Islam bagi penduduk Aceh yang beragama
Islam dan bagi mereka yang menundukkan diri pada hukum syariah Islam baik atas
kehendak subyek hukum maupun atas kehendak hukum.
7
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
8
Muhammad al-Zuhaili. 1423 H./2002 M., al Tandzim al Qadha’i fiy Fiqhi
al-Islami, Dar al-Fikri, Damaskus, hlm, 102. Prinsip dasar ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
9
Mahkamah Agung R.I., Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan
Buku II, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, Cetakan ke – 5 2004, hlm. 108.
Daftar
Referensi
•
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan
Al Hikmah, Jakarta, 2000.
•
A Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogykarta, 2010.
•
____________, Menari Keadilan Kritik Dan Solusi Atas Penyelesaian Perkara Perdata
Di Pengadilan, Pustaka Pelajar, Yogykarta, 2010.
•
___________, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogykarta, 2012.
•
Mahkamah Agung R.I., Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan
Buku II, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, Cetakan ke – 5 2004, hlm. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
•
Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelakasanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan
Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
Jakarta, 2011.
•
Muhammad al-Zuhaili. 1423 H./2002 M., al Tandzim al Qadha’i fiy Fiqhi
al-Islami, Dar al-Fikri, Damaskus.
•
UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Agama, RBg/HIR & Peraturan-peraturan lain
yang terkait.
Disadur dari tulisan A. Mukti Arto dalam website www.badilag.mahkamahagung.go.id